Liputan6.com, Jakarta - Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana, sekaligus Plt. Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kabul Wijayanto mengungkapkan, sektor kelapa sawit di Indonesia telah menyerap 16 juta tenaga kerja dan melibatkan 2,4 juta petani swadaya.
Selain itu, sawit terus mendorong PDB di sektor perkebunan pada angka yang positif di triwulan dua 2024 sebesar 3,25 persen, sehingga PDB Indonesia di triwulan dua 2024 bertumbuh positif di angka 5,05 persen.
Baca Juga
Meskipun begitu, Kabul menyebut kondisi sektor sawit di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan produktivitas. Pada 2019 secara nasional produktivitas 3,86 ton/ hektare. Kemudian pada 2023 turun menjadi 2,85 ton/hektare. Itu yang secara nasional.
Advertisement
“Kemudian khusus untuk petani swadaya lebih rendah lagi 2,58 ton/hektare. Itu artinya PR pertama terkait produktivitas. Itu yang menjadi concern masalah kelapa sawit saat ini di Indonesia,” kata Kabul dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).
Senada dengan Kabul, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan 5 tahun terakhir produksi sawit stagnan. Hal ini disebabkan beberapa faktor beberapa di antaranya cuaca dan peremajaan yang telat.
“Untuk perusahaan faktornya cuaca karena untuk peremajaan mereka rutin melakukan, tetapi untuk perkebunan rakyat yang perlu peremajaan,” jelas Eddy.
Selain penurunan produktivitas, sektor sawit juga menghadapi penurunan ekspor karena adanya penurunan permintaan dari China yang menjadi salah satu importir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia.
Menurunnya permintaan ini diakibatkan China yang melirik minyak bunga matahari yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit.
Industri Sawit Sumbang Devisa USD 9,78 Miliar per Mei 2024
Kontribusi industri sawit untuk devisa negara mencapai USD 9,78 miliar hingga Mei 2024 atau setara 10,01 persen dari ekspor non migas Indonesia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengungkapkan saat ini kinerja ekspor sawit cenderung menurun.
“Sebelumnya 2021, industri sawit sempat menyumbang devisa sebesar USD 34,9 miliar dan naik menjadi USD 37,7 miliar di 2022. Kemudian, penurunan terjadi di terjadi di 2023 menjadi USD 29,54 miliar,” kata Eddy dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).
Tak hanya itu, Eddy menyebut produksi sawit juga mengalami stagnan dalam 5 tahun terakhir yang disebabkan beberapa faktor beberapa di antaranya cuaca dan telatnya peremajaan.
“Untuk perusahaan faktornya cuaca karena untuk peremajaan mereka rutin melakukan, tetapi untuk perkebunan rakyat yang perlu peremajaan,” jelas Eddy.
Kemudian tantangan lain yang dihadapi industri sawit adalah penurunan ekspor ke China. Hal ini karena adanya penurunan permintaan dari China yang menjadi salah satu importir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia.
Advertisement
Mainkan Instrumen Fiskal
Menurunnya permintaan ini diakibatkan China yang melirik minyak bunga matahari yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit.
Eddy menambahkan harga yang lebih murah membuat China banyak melakukan pembelian dan ada pengurangan import dari Indonesia. China menjadi importir CPO terbesar dari Indonesia dengan jumlah 7,7 juta ton pada tahun lalu.
“Saya sampaikan bahwa kalau seperti ini terus mencapai 5 juta ton saja cukup berat. Jadi saya minta saran dari mereka apa yang harus kita lakukan,” jelas Eddy.
Eddy menyebut, perlu ada kebijakan pemerintah, yang paling tidak dapat memainkan instrumen fiskal. Artinya pada waktu harga tidak kompetitif bisa turunkan sementara, kemudian setelah menjadi kompetitif kembali, harga bisa dinaikkan lagi.