Â
Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut bahwa industri minuman, khususnya minuman berpemanis dalam kemasan, mulai mengalami penurunan produksi.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan bahwa penurunan ini disebabkan oleh rencana Kementerian Keuangan yang akan menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).
Advertisement
"Industri minuman, berdasarkan IKI Agustus 2024, kami mencermati bahwa ada sedikit penurunan produksi di industri minuman pada bulan Agustus. Meskipun masih kecil, kami melihat bahwa subsektor minuman mulai merespons pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan," ujar Febri dalam konferensi pers rilis Indeks Keyakinan Industri (IKI) Agustus 2024 di Bogor, Kamis (29/8/2024).
Diketahui, pemerintah telah membatasi kadar gula, garam, dan lemak dalam produk makanan dan minuman melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.
Selain itu, pemerintah menargetkan penerimaan cukai naik sebesar 6 persen dalam nota keuangan RAPBN 2025, menjadi Rp 244 triliun. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui ekstensifikasi cukai secara terbatas pada produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).
Mulai Berlaku 2025
Penerapan cukai terhadap MBDK akan mulai diberlakukan pada tahun 2025. Namun, kebijakan ini telah mengundang sejumlah protes dari masyarakat, terutama dari kalangan pengusaha minuman di Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, memproyeksikan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025 akan sangat berpengaruh terhadap volume penjualan produk industri makanan dan minuman (mamin), dan berpotensi menyebabkan terjadinya PHK massal di sektor industri mamin.
Ancam PHK
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meminta agar pemerintah bisa lebih melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunan aturan lanjutan soal cukai minuman berpemanis.
Shinta mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebetulnya sudah melakukan audiensi dengan pihak pengusaha terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang juga menaungi soal aturan cukai minuman berpemanis.
"Saat ini kami harapkan untuk aturan turunannya itu kami lebih dilibatkan. Jadi konsultasi ini bisa berjalan, dan kami juga sudah melibatkan semua asosiasi," pinta Shinta dalam sesi temu media di Kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Menurut dia, pengusaha memang menaruh perhatian lebih terhadap pungutan cukai untuk minuman berpemanis. Pasalnya, itu akan memunculkan efek pengganda alias multiplier effect pada ruang gerak pelaku usaha makanan dan minuman. Khususnya dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produknya.
Â
Advertisement
Efek Domino
Selain itu, kebijakan tersebut pun bakal menimbulkan efek domino terhadap kegiatan ekonomi. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Kalau cukai naik, harganya juga akan naik, daya beli masyarakat bisa turun. Dan ketika permintaan turun bisa berdampak kepada produksi. Jika berkepanjangan akan berdampak pula kepada permintaan produksi dan pengurangan tenaga kerja," paparnya.
 Sebab, ia menyebut bahwa sektor makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB industri non migas sebesar 39 persen, dan menyumbang 6,55 persen terhadap PDB nasional.
Tak hanya faktor ekonomi, Shinta pun merasa tak yakin batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan seperti tercantum dalam PP 28/2024 bisa langsung menurunkan angka penyakit.
"Jadi menentukan batas maksimal GGL di produksi pangan olahan saja tidak serta merta menurunkan angka penyakit yang disebabkan gula yang tinggi," tegas Shinta.