Liputan6.com, Jakarta - Miliarder Afrika Selatan Johann Rupert telah menyalip industrialis Nigeria Aliko Dangote sebagai orang terkaya di Afrika. Hal ini berdasarkan data terbaru dari Bloomberg Billionaires Index.
Johann Rupert mengendalikan Richemont, salah satu perusahaan barang mewah terbesar di dunia, yang memiliki merek antara lain Cartier dan Montblanc.
Baca Juga
Kekayaan bersihnya telah melonjak sebesar USD 1,9 miliar atau sekitar Rp 29,25 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah 15.397) menjadi USD 14,3 miliar atau sekitar Rp 220,23 triliun, menempatkannya pada posisi ke-147 secara global, 12 peringkat di atas Dangote.
Advertisement
Kenaikan kekayaan bersih Rupert didukung oleh kinerja yang kuat di sektor barang mewah. Selain Richemont yang berbasis di Swiss, kepemilikan lainnya termasuk Remgro, sebuah kendaraan investasi Afrika Selatan yang memiliki saham di lebih dari 30 perusahaan, Bloomberg melaporkan.
Dia mewarisi bisnis keluarga dari ayahnya, Anton Rupert, dan telah mengembangkannya dari tembakau menjadi usaha barang mewah bernilai miliaran dolar AS. Pengusaha tersebut kuliah di Universitas Stellenbosch untuk belajar ekonomi tetapi meninggalkan studinya untuk bergabung dengan bisnis ayahnya pada 1984.
Rupert sangat vokal mengenai isu-isu politik dan lingkungan hidup di Afrika Selatan dan berkampanye menentang pemerintahan minoritas kulit putih. Berbagai penghargaan telah ia terima atas aktivitas bisnisnya.
Miliarder ini tinggal di Cape Town, di mana ia memiliki rumah mewah, namun ia juga memiliki properti di Jenewa dan London.
Sementara itu, kekayaan Dangote telah turun sebesar USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 26,17 triliun (£1,3 miliar) tahun ini, sehingga kekayaan bersih menjadi USD 13,4 miliar atau sekitar Rp 206,34 triliun, Bloomberg melaporkan.
Â
Â
Penyebab Penurunan Kekayaan Dangote
Penurunan kekayaan Dangote menunjukkan kondisi ekonomi Nigeria yang penuh tantangan, tempat konglomeratnya beroperasi.
Sejak Presiden Bola Tinubu menjabat tahun lalu, ia telah melakukan beberapa reformasi ekonomi di negara berpenduduk terpadat di Afrika, termasuk penghapusan subsidi bahan bakar, yang berkontribusi terhadap tingginya inflasi, yang saat ini mencapai lebih dari 30%.
Tinubu mengatakan reformasi diperlukan untuk memotong pengeluaran pemerintah dan merangsang pertumbuhan jangka panjang.
Penurunan tajam nilai naira telah berdampak signifikan terhadap Dangote, yang kekayaannya sebagian besar bergantung pada aset dalam mata uang lokal.
Pengusaha berusia 66 tahun ini memperoleh kekayaannya dari industri semen dan gula – dan tahun lalu membuka kilang minyak di pusat ekonomi Nigeria, Lagos.
Kerajaan bisnisnya, Dangote Group, juga menghadapi banyak kemunduran dalam beberapa bulan terakhir karena penundaan produksi di kilangnya dan gangguan rantai pasokan.
Posisi Tergeser Usai 13 Tahun Berturut-turut di Posisi Pertama
Dia terdaftar oleh majalah Forbes pada Januari sebagai orang terkaya di Afrika selama 13 tahun berturut-turut meskipun negaranya mengalami kesulitan ekonomi.Namun, indeks Bloomberg terbaru menempatkannya di urutan kedua di Afrika dan ke-159 secara global.
Orang Terkaya Ketiga di Afrika
Nicky Oppenheimer, miliarder Afrika Selatan lainnya, menduduki peringkat orang terkaya ketiga di Afrika dengan kekayaan bersih USD 11,3 miliar atau sekitar Rp 173,99 triliun, diikuti oleh Nassef Sawiris, seorang pengusaha Mesir, dengan kekayaan USD 9,48 miliar atau sekitar Rp 145,96 triliun.
Investor Afrika Selatan Natie Kirsh melengkapi daftar lima miliarder teratas Afrika dengan kekayaan USD 9,22 miliar atau sekitar Rp 141,95 triliun. Seperti Forbes, peringkat Bloomberg memantau perubahan harian kekayaan bersih orang-orang terkaya di dunia.
Gelar orang terkaya di Afrika mungkin akan terus berpindah tangan seiring dengan fluktuasi kondisi pasar dan dunia usaha menghadapi tantangan yang kompleks.
Â
Reporter:Â Satrya Bima Pramudatama
Advertisement
Kisah Alexandr Wang, Raih Predikat Miliarder Termuda di Usia 24 Tahun Berkat AI
Sebelumnya, sosok Alexandr Wang memang tidak sepopuler CEO OpenAI Sam Altman di bidang kecerdasan buatan. Namun, Wang nyatanya berhasil meraih capaian tersendiri di usia muda.
Wang sebagai pendiri dan CEO Scale AI berhasil meraih predikat miliarder termuda hasil usah sendiri di usia 24 tahun versi Forbes. Bahkan, seperti dikutip dari berbagai sumber, Sabtu (24/8/2024), ia digadang-gadang sebagai penerus Elon Musk.
Di usia 24 tahun, ia dilaporkan berhasil menjadi miliarder berkat usaha yang didirikannya. Wang memang dikenal sebagai sosok yang menaruh perhatian pada kecerdasan buatan.
Ia sempat menempuh pendidikan selama setahun di jurusan matematikan dan ilmu komputer MIT, sebelum akhirnya memutuskan terjun langsung ke dunia startup dengan mendirikan Scale AI bersama Lucy Guo pada 2016.
Keputusan tersebut dianggap tepat, mengingat ketika itu ada lonjakan kebutuhan industri di bidang machine learning. Awalnya, Scale AI berfokus pada penyediaan data penting untuk perusahaan mobil self-driving.
Seiring berjalannya waktu, jangkauan layanan AI Scale AI meluas ke berbagai sektor, seperti otomatisasi perusahaan, e-commerce, asuransi, hingga robotika.
Pendekatan Berbeda dari Scale AI
Layanan Scale AI disebut memiliki pembeda, karena memanfaatkan potensi clickworker (pekerja lepas online) yang kemudian dipadukan dengan algoritma AI canggih.
Di perusahaan itu, Wang fokus pada upah yang adil dan tunjangan yang setara bagi para clickworker membuat perusahaanya menonjol. Dari situ, Scale AI pun dikenal sebgaai perusahaan inovatif dan disruptif.
Saat ini, perusahaan yang didirikan Wang ii mampu melayani lebih dari 300 perusahaan, termasuk beberapa raksasa teknologi seperti Meta, Microsoft, hingga NVIDIA.
"Kami diam-diam telah mendukung seluruh industri AI selama bertahun-tahun," tutur Wang dalam satu kesempatan. Pada 2021, perusahaan ini disebut memiliki valuasi USD 7,3 miliar.
Jaringan yang Luas
Yang menarik, Wang tidak hanya dikenal sebagai pengusaha teknologi yang cemerlang. Ia juga memiliki pengaruh yang kuat di luar Silicon Valley.
Ia diketahui berhasil membangun jaringan yang luas, termasuk dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Washington DC. Hal ini membuatnya dirinya menonjol di tengah industri teknologi Amerika Serikat yang umumnya berpusat di California.
Berkat hal itu pula, Scale AI berhasil dipercaya untuk mengimplementasikan AI dalam optimalisasi pengelolaan data Angkatan Udara Amerika Serikat (US Air Force), khususnya untuk kebutuhan analisis citra satelit.
Kerja sama ini mampu menghasilkan kontrak pemerintah senilai lebih dari USD 350 juta, sekaligus mengukuhkan posisi Scale AI sebagai salah satu pemain terdepan di ranah AI.
Advertisement