Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia, Budihardjo Iduansjah mengatakan ada perubahan pola konsumsi masyarakat kelas menengah. Alur penyaluran (stok) barang yang dilakukan peritel pun ikut berubah.
Dia mengatakan, ada perbedaan signifikan pada kelompok kelas menengah yang berbelanja menjadi lebih sedikit. Padahal, sebelumnya kerap membeli barang untuk stok bulanan. "Sudah (ada perubahan), jadi kelas menengah itu waktu tidak banyak, sekarang mereka lebih fast and grab, kalau beli barang itu enggak ada waktu muter-muter karena mereka sibuk kerja," kata Budi, di Jakarta, dikutip Jumat (30/8/2024).
Baca Juga
Dia mengatakan saat ini kalangan kelas menengah itu cenderung belanja di antara selingan menjalankan pekerjaannya. Misalnya, ketika menjalankan pekerjaan di kafe-kafe, dan menyelanginya dengan belanja kebutuhan harian.
Advertisement
Budihadjo juga menyadari kalau saat ini kelas menengah terdampak kondisi ekonomi global. Sehingga berpengaruh pada pola belanja mereka.
"Dulu belanja bulanan sekarang itu pakainya belanja harian atau 2 harian. Kalau dulu sebulan ditumpuk di rumah sekarang enggak," katanya.
Dengan perubahan pola belanja kelas menengah itu, pemasukan ke toko ritel pun ikut terpengaruh. Sebelumnya ada nominal transaksi dalam satu kali belanja, kini angkanya menjadi lebih kecil.
Dengan penjualan yang juga berkurang setiap harinya, pengusaha ritel turut menyesuaikan pasokan dari gudang ke toko-tokonya. Budihardjo mencatat, besaran gudang penyimpanan pun ikut mengecil seiring arus keluar barang yang dijualnya.
"Ya berarti kan penjualan kita jadi lebih dikit. Cuma secara akumulasi sebulan sama. Cuma dulu banyak bayar langaung sekali. Jadi metode stoknya kita juga ngikutin, nyetok ke suplier dikit-dikit kalau dulu banyak, jadi gudangnya kita kecilin," jelasnya.
Kelas Menengah Dapat Bansos
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan banyak kas negara yang digunakan untuk menopang masyarakat kelas menengah. Bahkan, asuransi kesehatan yang diberikan disebut lebih banyak dari negara lain.
Dia mencatat, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mencapai 164 juta orang. Seluruhnya, turut dibantu negara seperti melalui program penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
"Memang middle class banyak program yang pemerintah dukung antara lain di sektor kesehatan melalui PBI untuk BPJS Kesehatan," kata Menko Airlangga dalam Indonesia Retail Summit 2024, di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Dia mencatat, cakupan asuransi yang diberikan BPJS Kesehatan, yang juga diterima kelas menengah RI lebih banyak dibandingkan negara lain. Misalnya, jaminan kesehatan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
"Coverage BPJS kesehatan kita ini salah satu yang terlengkap dan terdalam di seluruh berbagai negara, banyak fitur atau lingkup kesehatan yang oleh insurance negara lain termasuk di Amerika tidak diberikan, di Indonesia berikan," katanya.
Advertisement
Kelas Menengah
Atas adanya jaminan itu, Airlangga bilang kelompok kelas menengah bisa memiliki daya beli. Dia mengklaim bantuan yang masuk lewat BPJS Kesehatan itu membuat masyarakat kelas menengah punya ruang lebih untuk belanja.
"Jadi Itu yang mendukung kelas menengah mempunyai daya beli. Karena pemerinrah men-taking care dari sektor kesehatan, kalau kelas menengah sehat maka dia bisa kerja maka dia bisa spending. Itu yang paling penting," tuturnya.
Selain kucuran bantuan melalui BPJS Kesehatan, Menko Airlangga juga mencatat adanya subsidi listrik, program keluarga harapan (PKH) hingga subsidi energi yang dinikmati kelas menengah.
"Pemerintah dengan berbagai program PKH kemudian subsidi listrik, bahkan yang di ruangan ini pun dapat subsidi energi. Jadi inilah program bantalan yang dilakukan oleh pemerintah agar setiap masyarakat punya akses saving jaga daya beli juga untuk kedepan," urainya.
Omzet Ritel Modern Sentuh Rp 700 Triliun, Penopangnya Kelas Menengah
Sebelumnya,Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyinggung pendapatan yang dikumpulkan sektor ritel modern di Indonesia. Angkanya mencapai Rp 700 triliun dari berbagai pelaku usaha.
Angka ini sebelumnya disampaikan Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah. Ini dinilai jadi bukti kuatnya perdagangan domestik.
"Saya ingin menyampaikan bahwa ritel di Jakarta ini memang tadi Pak Budi mengatakan omzet yang ada di ruangan ini Rp 700 triliun. Jadi ini adalah sebuah angka yang besar," kata Menko Airlangga dalam Indonesia Retail Summit 2024, di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Dia mengatakan, ini sejalan dengan data yang dikumpulkan Bank Dunia yang menunjukkan pertumbuhan sektor ritel Indonesia lebih tinggi dari peetumbuhan ekonomi. Bahkan, tingkat komponen pertumbuhan secara tahunan mencapai 12 persen.
"Berdasarkan dari laporan World Bank itu pertumbuhan sektor konsumsi atau ritel di Indonesia itu secara rata-rata sejak tahun 2022 itu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Jadi komponen annual growth sektor retail adalah 12 persen," katanya.
Ini turut ditopang dengan kualitas pusat perbelanjaan atau mal di Indonesia yang disebut lebih baik dari negara lain. Bahkan, Menko Airlangga bilang mal di Jakarta tak kalah dari mal di San Fransisco, Amerika Serikat (AS).
"Kita tahu kalau mall di Indonesia lebih baik dari berbagai mall di global termasuk di San Fransisco. Jadi kita harus tepuk tangan kepada peritel. Di berbagai negara lain, kita lihat tidak semodern yang ada di Indonesia, wabil khusus ada di Jakarta," ungkapnya.
Advertisement
Ditopang Kelas Menengah
Menko Airlangga menyampaikan juga, pendapatan mal itu ikut disumbang oleh kelompok masyarakat kelas menengah. Khusus Jakarta, dia mencatat banyak kelompok kelas menengah tersebut.
"Kenapa di Jakarta kuat, karena income per kapita di Jakarta sudah lewat Dari middle income trap, rata-rata pendapatan di Jakarta itu 20.000 dolar (AS) per tahun," katanya.
Banyaknya kelas menengah di Jakarta itu mendorong pertumbuhan jumlah mal. Dia bilang, jumlah mal di suatu wilayah bisa jadi cerminan pendapatan perkapita wilayah tersebut.
"Sebetulnya kalau kita monitor itu pertumbuhan ekonomi itu relatif kita bisa monitor, jenis retail apa yang ada di kota itu sudah bisa mencerminkan berapa level income per kapita," ujarnya.
"Berapa jumlah Alfamart, berapa jumlah Indomaret, berapa jumlah ace hardware, berapa jumlah rumah kita itu menjadi indikator-indikator ekonomi nasional. Berapa outlet daripada iBox itu juga menjadi indikator daya beli ritel kita," Menko Airlangga menambahkan.