Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana mengubah skema subsidi tarif KRL Jabodetabek dengan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025. Rencana ini dinilai bakal semakin mengganggu eksistensi penduduk kelas menengah yang jumlahnya konsisten turun dalam 5 tahun terakhir.Â
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai beban pemerintah yang semakin berat otomatis akan membuat kelompok kelas menengah semakin tertatih-tatih.Â
Baca Juga
"Saya kira kalau beban kelas menengah semakin banyak, misalnya ada PPN, pungutan-pungutan lainnya misalnya transportasi publik semakin besar, maka berat. Kelas menengah ada di situ, pakai KRL dia," ujar Tauhid kepada Liputan6.com, Sabtu (31/8/2024).
Advertisement
Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk kelas menengah konsisten mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per Maret 2024, proporsi kelas menengah tahun ini sebanyak 47,85 juta orang atau sekitar 17,13 persen.
Angka itu merosot tajam dibandingkan data per 2019, kelompok kelas menengah sebesar 57,33 juta orang atau sekitar 21,45 persen dari total jumlah penduduk. Kelompok menengah juga terbebani tingkat pengeluaran yang semakin tinggi, dari sebelumnya Rp 1,488-7,229 juta per kapita per bulan (2019) menjadi Rp 2,040,262-9,919,844 per kapita per bulan (2024).
"Karena itu memang, kalau mereka ingin cepat (naik), mereka harus dibantu untuk mengurangi beban-beban biaya. Misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi publik, itu penting. Karena kelas menengah itu tumbuhnya besar banget," imbuh Tauhid.Â
Tauhid mengatakan, jika proporsi kelompok kelas menengah terus turun, otomatis potensi untuk pertumbuhan ekonomi juga semakin berat. Lantaran, konsumsi kelas menengah jadi salah satu penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Â
Berdampak terhadap Daya Beli
"Sehingga kalau kelas menengah drop, biasanya daya beli secara umum penduduk juga ikut drop. Karena beda, kalau kelas bawah dia survival. Dia walaupun konsumsi ada, ya segitu-segitu. Tapi kalau kas menengah itu sangat penting," ungkapnya.Â
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi nasional saat ini masih terkurung di kisaran 5 persen lantaran proporsi kelas menengahnya turun. Namun jika mereka konsumsinya bagus, maka bakal mendukung pertumbuhan ekonomi jauh di atas 5 persen. Â
"Kalau ekonomi kita lebih tinggi, kelas menengahnya harus jauh lebih besar. Tapi bukan dari yang atas turun, tapi yang dari bawah naik," tegas Tauhid.Â
Advertisement
Dibanding Terapkan Subsidi Berbasis NIK, YLKI Usul Tarif KRL Jabodetabek Naik
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai wacana subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK) kurang tepat. Di sisi lain, kenaikan tarif KRL dinilai lebih bisa diterima.
Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno menilai, wacana pembatasan subsidi KRL berbasis NIK akan memunculkan kebingungan di pengguna. Pasalnya, dikhawatirkan akan muncul dua tarif berbeda bagi masyarakat.
"Jadi dalam hal ini Kementerian Perhubungan jangan menggunakan istilah akan ada dual tarif yang satu tarif subsidi yang satu tidak, justru itu akan menjadi kebingungan di masyarakat," ungkap Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).
Dia menilai, kenaikan tarif masih lebih mungkin dilakukan. Mengingat penyesuaian tarif KRL sudah lama tidak dilakukan. Meski begitu, kenaikan tarif KRL Jabodetabek harus dibarengi dengan penambahan kualitas layanan.
"Sebaiknya kalau memang Kemenhub dan PT KAI secara terbuka saja menyampaikan bahwa akan kenaikan tarif KRL Jabodetabek misalkan seperti itu. Karena sebetulnya ada ruang untuk KAI menaikkan tarif selama ini kan sudah cukup lama tidak ada kenaikan tarif atau penyesuaian tarif," ujar dia.
"Jadi enggak masalah kalau memang pemerintah memutuskan untuk ad akenaikan tarif tetapi sampaikan juga benefit apa yang akan diterima konsumen dari kenaikan tarif tersebut," imbuhnya.
YLKI sendiri, kata Agus, sudah melakukan survei terhadap pengguna KRL Jabodetabek terkait rencana kenaikan tarif. Hasilnya, mayoritas sepakat adanya penyesuaian.
Masyarakat Bersedia Tarif Naik
Agus mengungkapkan, hasil survei tersebut menunjukkan adanya kemampuan membayar dan keinginan membayar pelanggan jika ada kenaikan tarif.
"Ya, dari hitung-hitungan YLKI, YLKI pernah melakukan kajian di taun 2021-2022 itu sebetulnya ability to pay dan willingness to pay nya itu nyambung, jadi masyarakat atau konsumen mau dan mampu untuk melakukan penyeduaian tarif dengan ketentuan yang sudah dalam kajian ya," kata dia.
"Jadi untuk 25 km pertama misalkan itu ada kenaikan ya itu bagi mereka itu tidak ada permasalahan, asalkan ada peningkatan pelayanan," tambahnya.
Advertisement
Tarif Naik Bertahap
Di sisi lain, menurut dia, kenaikan tarif bisa dilakukan secara bertahap. Mengingat, KAI Commuter juga tengah dalam proses untuk menambah sarana KRL Jabodetabek.
"Jadi KAI dan Kemenhub bisa mempublikasikan atau bisa menginformasikan bahwa akan ada kenaikan tarif dengan benefit seperti ini yang akan diterima oleh pengguna atau konsumen. Jadi, sosialisasi ini juga penting menyampaikan itu ke publik dan penting juga untuk pengelolaan sosialisasi sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat," tuturnya.
Agus membuka kemungkinan penyesuaian tarif bisa dilakukan mulai 2025, tahun depan. Asalkan sosialisasinya dilakukan sejak saat ini.
"Kalau itu dilakukan di 2025 sebetulnya masih ada waktu untuk menyampaikan hal ini," pungkas Agus.
Â