Sukses

Cegah Deflasi Berlanjut, Pemerintah Harus Apa?

Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menyoroti terkait deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan berturut-turut. BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menyoroti terkait deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan berturut-turut. BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.

Nailul Huda menilai kondisi deflasi yang terjadi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik. Pada deflasi sebelumnya seperti di tahun 2008-2009 misalkan, faktor krisis global menyebabkan deflasi terjadi beberapa bulan berturut-turut.

Sedangkan di masa pandemi covid-19 juga sama ada faktor extra ordinary yang menyebabkan permintaan melemah. Sementara saat ini, kata Nailul, faktor deflasi banyak disebabkan oleh pelemahan daya beli yang disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang tepat.

"Saya melihat kondisi harga komoditas masih bisa dibilang oke meskipun terjadi penurunan. Covid-19 sudah berjalan beberapa tahun ke belakang dan perdagangan global juga sudah dibuka," kata Nailul kepada Liputan6.com, Rabu (4/9/2024).

Sementara, jika dilihat pada tahun 2022 pemerintah menaikkan harga pertalite yang pada akhirnya menggerus daya beli. Selain itu, kondisi pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan faktor pelemahan industri dan investasi yang seret.

"Jadi treatment terhadap isu deflasi saat ini berbeda dengan kondisi deflasi tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.

Menurutnya, untuk mengatasi deflasi yang berkelanjutan Pemerintah harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga.

"Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan. Pembatasan pertalite harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Deflasi 4 Bulan Berturut-turut, Ini Bahayanya

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama empat bulan berturut-turut Indonesia mengalami deflasi. Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.

Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita, menilai risiko dari deflasi yang berkelanjutan dalam empat bulan adalah penurunan tingkat konsumsi rumah tangga.

Sehingga sangat berpotesi akan menekan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini, karena kontribusi konsumsi rumah tangga sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi nasional.

Risiko lanjutanya yakni prospek investasi untuk beberapa sektor yang terkait dengan konsumsi rumah tangga dan daya beli sehari-sehari masyarakat akan memburuk di satu sisi. Bahkan berpotensi terjadinya PHK alias gulung tikar, misalnya untuk sektor consumer good, manufaktur, terutama tekstil, dan properti.

"Prospek investasi untuk sektor-sektor ini akan menurun. Karena para investor akan berfikir panjang untuk melakukan ekspansi bisnis atau investasi baru di sektor ini, karena prospek pasarnya memburuk," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (3/9/2024).

Sementara di sisi lain, dampak deflasi yang berturut-turut ini sudah imbasnya di sektor manufaktur yang eksis, aktivitas bisnis mereka terus tertekan. Kemudian, sebagian tenaga kerja akhirnya harus di "lay off" atau pemutusan kerja.

 

3 dari 3 halaman

Penurunan Harga

Namun kata Ronny, jika dilihat dari positifnya yakni untuk masyarakat umumnya penurunan harga baik untuk kantong, setidaknya tidak menekan daya beli, sehingga bisa tetap memdapatkan volume barang dan jasa setara dengan empat bulan lalu, karena harga cenderung stagnan.

Tetapi minusnya seperti yang dijelaskan di atas, kurang bagus secara makro, karena berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengangguran, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, ia menyarankan, yang harus dilakukan pemerintah, pertama, melakukan intervensi dari sisi kebijakan sosial kesejahteraan dalam berbagai bentuk dan jenis agar bisa membatu daya beli masyarakat tidak semakin turun.

Kedua, melakukan berbagai macam terobosan agar tidak terjadi perluasan PHK di satu sisi dan mendorong percepatan pembukaan lapangan kerja baru dengan menstimulasi investasi baru di sisi lain.

"Logikanya sederhana saja. Semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka, semakin banyak mayarakat yang berpendapatan, sehingga semakin banyak masyarakat yang mengosumsi barang dan jasa, lalu permintaan naik, prospek usaha dan investasi meningkat yang akan mengundang semakin banyak investasi baru, karena prospek permintaan semakin naik," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini