Liputan6.com, Jakarta Presiden terpilih Prabowo Subianto mulai menata strategi untuk bisa lari kencang di awal masa pemerintahannya yang akan resmi mulai Oktober 2024. Maklum, sejak masa kampanye, Prabowo memiliki target pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen.
Optimisme Prabowo ini memang bukan asal ngomong. Baginya, apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi saat ini menjadi modal utamanya.
Baca Juga
Prabowo Unggah Foto Gendong Bobby Kertanegara di Istana Negara, Tangannya Nyaris Cakar Hidung Sang Presiden
4 Respons Sejumlah Pihak Terkait Pertemuan Ridwan Kamil dengan Presiden Prabowo Subianto
5 Pernyataan Presiden Prabowo saat Resmikan GSN, Minta Izin Kunker ke Luar Negeri hingga Sisishkan Uang
"Pemerintahan Jokowi harus diakui pertumbuhan tinggi dan inflasi rendah," ucap Ketua umum Partai Gerindra ini.
Advertisement
Untuk itu, apa yang telah dicapai oleh pemerintahan Jokowi, lanjut Prabowo, harus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan memaksimalkan swasembada pangan dan energi.
"Sumbangan terbesar pemimpin politik adalah bisa menciptakan ketenangan, karena dengan itu tercipta iklim yang positif. Minimum target pertumbuhan ekonomi 8 persen" tegasnya.
Optimisme Prabowo Subianto terhadap pertumbuhan ekonomi ini juga dirasakan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan. Zulkifli, yang selama masa Pilpres menjadi pendukung berat pasangan Prabowo-Gibran ini bahkan sudah memiliki kisi-kisi cara mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tesebut. Salah satu caranya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot ekspor.
"Fokus sebetulnya kalau kita ingin tumbuh, pak Prabowo ingin tumbuh 7-8 persen, tentu kalau kita ingin tumbuh 7-8 persen maka kita harus menggenjot ekspor memang ya," kata Mendag Zulkifli, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Bersamaan dengan ekspor tadi, dia juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap produk lokal dan UMKM. Termasuk hasil dari industri dalam negeri.
Di sisi lain, aspek investasi yang masuk ke Indonesia juga jadi salah satu aspek yang tak luput dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kita harus tumbuh jauh lebih besar dari hari-hari ini selain tentu saja nanti investasi yang besar. Sebetulnya kita bagaimana menguasai pasar dunia," ujarnya.
Tak kalah penting adalah bagian mengendalikan produk impor dan melakukan stabilisasi harga di dalam negeri.
Bank Indonesia Siap Sinergi Wujudkan Target Prabowo
Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi ini, Prabowo juga sudah mendapat dukungan dari Bank Indonesia (BI).
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menjelaskan sinergi yang akan dilakukan BI dengan Pemerintahan Prabowo nanti yakni meningkatkan pertumbuhan kredit. Lantaran, jika pertumbuhan kredit naik maka akan mendorong pertumbuhan ekonominya juga.
“BI dengan pemerintahan baru tentu akan terus sinergi dalam menjaga stabilitas maupun mendorong pertumbuhan ekonomi, dalam konteks ini melalui pertumbuhan kredit,” kata Juda Agung.
Adapun pada 2025 Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kredit perbankan dikisaran 11 persen hingga 13 persen, hal itu sesuai dengan hasil Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) akhir 2023 lalu.
"Jadi, ke depan tentu saja kalau ekonomi terus berkembang, demand kredit meningkat diharapkan kredit meningkat. BI akan memberikan likuiditas yang memadai untuk perbankan dalam menyalurkan kredit tentu saja,” pungkasnya.
Prabowo Butuh Investasi hingga Rp 2.000 Triliun
Memang untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen tak semudah membalikkan telapak tangan. Semua instansi pemerintah, pengusaha, hingga masyarakat harus kompak mengawal misi ini.
Wakil Menteri Investasi / Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM ) Yuliot Tanjung mengatakan target pertumbuhan ekonomi tersebut sulit tercapai jika realisasi investasi juga tak digenjot. Perlu diketahui, realisasi investasi di Indonesia menjadi faktor utama penggerak ekonomi.
Guna mencapai angka tersebut dibutuhkan realisasi investasi senilai Rp 1.900 - 2.000 triliun. Pemerintahan Prabowo harus kerja keras, karena angka ini berada di atas target 2024 yang sebesar Rp1.650 triliun.
Angka tersebut merupakan target yang cukup besar yang harus dicapai pada 2024 untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional sekitar 5 sampai 5,5 persen pada tahun ini.
"Ini menurut perhitungan kami, kita sudah melakukan asesmen pada tahun 2025 yang akan datang target realisasi investasi adalah sebesar Rp1.900-2.000 triliun," ujar dia.
Maka dari target investasi 2024 ke 2025 naik sebesar 16 persen. Hal itu menjadi tantangan dan beban Pemerintahan baru untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan investasi yang sangat besar.
"Jadi, kalau pertumbuhan dari target pada tahun 2024 ini berarti sekitar 16 persen. Jadi, tidak ada sektor perekonomian yang rata-rata pertumbuhan dua digit ini merupakan beban kita bersama," pungkasnya.
Belum Bisa Tercapai di 2025?
Lantas, apakah mungkin pertumbuhan ekonomi 8 persen ini bisa tercapai tahun depan? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5,1-5,5 persen di 2025 mendatang. Itu artinya terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Sri Mulyani menyampaikan hal ini tertuang dalam Kerangk Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) bagi Rancangan APBN 2025 mendatang.
"KEM-PPKF 2025 disusun pada masa transisi dari pemerintahan saat ini untuk pemerintahan selanjutnya. Kebijakan Fiskal harus menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan secara berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045," ucap Sri Mulyani.
Dia menjelaskan, dengan semangat menjaga stabilitas ekonomi selama ini, perkiraan pertumbuhan ekonomi bisa berkisar pada angka 5,1-5,5 persen di 2025 mendatang.
"Kami optimis dengan bekerja keras dan berkomitmen bersama menjaga stabilitas ekonomi dan komitmen melakukan terobosan kebijakan maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1 hingga 5,5 persen," katanya.
Advertisement
Pengusaha Siap Bantu Wujudkan Misi Prabowo
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mendukung ambisi presiden terpilih Prabowo Subianto dalam mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Menurut dia, optimisme atas pertumbuhan ekonomi itu perlu didorong, meskipun tidak bisa didapatkan secara instan.
"Kalau saya bilang kita harus punya optimisme dulu, bahwa kita punya target. Target (pertumbuhan ekonomi) 8 persen itu menurut saya realistis. Cuman enggak mungkin langsung 8 persen tahun depan, enggak mungkin," ujar Arsjad kepada Liputan6.com saat ditemui di sela acara ISF 2024 di JCC, Jakarta, Kamis (5/9/2024).
"Bertahap, mungkin dalam waktu tahun ketiga daripada pemerintahan selanjutnya. Namun demikian kita harus optimistis dulu, supaya kita bisa merekayasa pemikiran bagaimana untuk menuju ke sana," ungkapnya.
Dari sisi pelaku usaha, Arsjad berharap pemerintah selanjutnya bisa membuat kebijakan yang memang tepat sasaran. Namun, ia menyoroti regulasi antar instansi yang kerap tumpang tindih.
"Yang pertama adalah policy atau kebijakan yang memang tepat sasaran. Kedua, policy atau kebijakan yang allignment-nya ada, atau diselaraskan antara pemerintah pusat dan daerah," pintanya.
Menurut dia, keselarasan regulasi antar instansi baik di tingkat pusat maupun daerah juga bakal lebih memberikan kepastian bagi pihak investor. Khususnya untuk kebijakan yang terkait investasi.
"Bermacam regulasi supaya allign, selaras. Kalau policy tidak selaras, susah. Juga antara kementerian, antara pusat dan daerah, dan juga policy yang dikeluarkan itu kebijakan yang memang pro kepada pasar supaya investor mau masuk," tuturnya.
Buruh Minta Upah Naik Demi Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi
Presiden Terpilih Prabowo Subianto membidik ekonomi Indonesia dapat tumbuh hingga 8 persen per tahun. Kalangan buruh memandang hal ini sebagai capaian yang mungkin dicapai.
Hanya saja, salah satu faktornya adalah peningkatan daya beli masyarakat, termasuk buruh. Untuk mendorong hal tersebut, diperlukan kenaikan upah yang layak.
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor tenaga kerja, pemerintah harus fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan pekerja. Ini dapat dicapai dengan kebijakan upah buruh yang layak dan adil," ujar Ketua Departemen Infokom dan Propaganda Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono, kepada Liputan6.com, Kamis (5/9/2024).
Menurutnya, kebijakan upah yang adil akan meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya mendorong konsumsi domestik sebagai salah satu penggerak ekonomi terbesar.
"Selain itu, regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil, seperti pencabutan UU Cipta Kerja, juga diperlukan," kata dia.
Selanjutnya, Kahar juga menyoroti pentingnya upaya peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia. Ia meminta pemerintah serius memfasilitasi pendidikan dan pelatihan keterampilan yang memadai serta terintegrasi dengan dunia kerja.
"Hal ini akan memperkuat daya saing mereka di pasar kerja, membuka peluang untuk pekerjaan yang lebih baik, dan memungkinkan pekerja beralih ke sektor-sektor dengan pendapatan yang lebih tinggi," ujarnya.
"Selain itu, akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial juga menjadi kunci untuk memperkuat kelas menengah, karena akan memberikan rasa aman dan stabilitas bagi pekerja dan keluarganya," tambah Kahar.
Diragukan Para Ekonom
Presiden Terpilih Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun ke depan. Bahkan, Prabowo bertekad melampaui angka tersebut.
Namun, melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, banyak pihak menilai target ambisius tersebut tidak realistis. Pengamat Ekonomi dari Celios, Nailul Huda, menyebut target tersebut sebagai "kehaluan" dari pikiran Presiden terpilih.
"Target tersebut bukan mimpi di siang bolong, tetapi merupakan sebuah kehaluan dari pikiran presiden yang disusupi oleh data surga yang pada akhirnya menimbulkan delusi," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Jumat (6/9/2024).
Menurutnya, jika dilihat dari sejarah, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 8 persen. Pencapaian tertinggi Indonesia adalah sekitar 7 persen.
Hal ini didasarkan pada data BPS, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 dibandingkan dengan kuartal II-2020 (yoy) mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen.
"Dari data historis, kita belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Mentoknya 7 persen, dan itu terjadi karena efek rendah (low base effect) dari pandemi," ujarnya.
Ia melihat ke depan, Indonesia tidak lagi mengalami low base effect karena kondisi saat ini sudah normal. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7 persen, tetapi realisasinya hanya sekitar 5 persen.
"Saya sudah bersyukur jika ekonomi bisa tumbuh 5 persen. Target 8 persen ini, saya ragu. Prabowo mungkin sedang halusinasi menyebut angka tersebut," pungkasnya.
Struktur Ekonomi Belum Memadai
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Dia menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen terlalu ambisius melihat beberapa faktor yang mempengaruhi perekonomian 5 tahun mendatang.
Pertama, secara struktur ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada komoditas olahan primer. Sementara permintaan dari negara mitra dagang kan sedang turun, jadi harga CPO, nikel, batu bara masih rendah untuk jangka menengah.
Kedua, kelas menengah sedang menahan belanja sehingga mempengaruhi dorongan konsumsi domestik. Padahal konsumsi rumah tangga porsinya lebih dari setengah PDB. Ketiga, ruang fiskal yang terbatas sehingga kemampuan APBN dalam stimulus perekonomian jadi lebih kecil porsinya.
"Memang ada MBG, dan program quick win, tapi efeknya tetap tidak besar ketika banyak program lain yang dipangkas," jelas Bhima.
Di sisi lain, mengejar pertumbuhan 8 persen lewat hilirisasi dan bioenergi menimbulkan beberapa dampak negatif. Luasan lahan yang dibutuhkan untuk ekspansi tambang mineral kritis termasuk nikel, bauksit cukup besar.
Menurut Bhima, jika hutan berkurang karena hilirisasi, maka akan menurunkan potensi ekonomi lain seperti agroforestri, dan perkebunan berkelanjutan. Sementara bioenergi juga menciptakan risiko ekspansi lahan untuk penanaman tebu di Papua. Hal tersebut juga akan menurunkan daya saing Indonesia di dalam pendanaan iklim.
"Model pertumbuhan ekonomi harus diubah dari mengejar 8 persen menjadi ekonomi yang berkualitas, ketimpangannya turun, kemiskinan juga bisa lebih rendah, dan kebahagiaannya tinggi," tukas Bhima.
Advertisement