Sukses

Pengusaha Tangkap Peluang Perdagangan Karbon-Insentif

Chief Sustainability Officer Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba, mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE).

 

Liputan6.com, Jakarta Chief Sustainability Officer Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba, mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE). Perdagangan karbon hingga insentif bagi pengguna energi baru terbarukan (EBT) dinilai menjadi kunci untuk mencapai ambisi tersebut.

Dia menjelaskan bahwa mengejar Net Zero Emission bukan berarti seluruh pekerjaan atau operasional tanpa emisi, tetapi ada peluang penyimpanan karbon di hutan.

Elim berharap perdagangan karbon dapat segera direalisasikan agar ekosistem tersebut dapat terbentuk dan berjalan dengan baik.

"Kita dapat melihat peluang tentang (penyimpanan) karbon di hutan, tetapi saat ini, tentu saja, jika Anda bertanya tentang kebijakan tersebut, saya pikir pemerintah dapat membuka kunci pasar karbon ini, benar, untuk menciptakan peluang dan bagaimana ekosistem ini dapat berjalan bersama," jelas Elim dalam Diskusi Tematik Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).

"Untuk menjalankan proyek, kita tahu bahwa penyimpanan karbon ada di hutan, tetapi juga perlu investasi, bukan hanya uang, benar, untuk menjalankan proyek, dan kemudian pasar karbon dapat mendukungnya," lanjutnya.

Pakai Panel Surya

Dalam mengejar pengurangan emisi karbon, operasional APP Sinar Mas juga dilakukan dengan mengadopsi panel surya. Penerapan ini dilakukan di beberapa lingkup operasional perusahaan.

"Hal lain, menurut saya, dalam hal energi terbarukan, panel surya, kami sudah menerapkannya dalam scope 2 kami, tetapi untuk scope 1, agak sulit," kata dia.

Terkait penerapan EBT di operasional perusahaan, Elim juga berharap pemerintah memberikan insentif. Ini dinilai sebagai bentuk kerja sama untuk mengejar nol emisi karbon di masa depan.

"Tetapi berbicara tentang panel surya juga terkait dengan insentif bagi mereka yang menggunakan panel surya. Jadi, saya pikir kebijakan semacam ini harus bersama-sama, mencari solusi dengan pemerintah, dan bagaimana mereka dapat mendukung agar ekosistem bisa berjalan bersama, sambil menunggu teknologi baru yang dapat mengatasi tantangan ini," urainya.

 

2 dari 3 halaman

Manfaat Biofuel

Sebelumnya, penggunaan minyak sawit sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) terus digenjot di Indonesia. Upaya ini terbukti mampu menekan emisi karbon dan menghemat devisa negara.

Executive Director Sinar Mas Agribusiness and Food, Jesslyne Widjaja, menyatakan bahwa permintaan biofuel terus meningkat setiap tahunnya. Meskipun implementasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan total konsumsi BBM di sektor transportasi.

"Menurut saya, permintaan biofuel global sudah cukup signifikan saat ini, sekitar 150 juta ton atau lebih, dan masih tumbuh 2-3% per tahun. Namun, ini hanya mencakup sekitar 3-4% dari total konsumsi bahan bakar di sektor transportasi saat ini," kata Jesslyne dalam diskusi di Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).

 

3 dari 3 halaman

Kurangi Emisi Karbon

Dia menjelaskan bahwa rata-rata biofuel dapat mengurangi emisi karbon sebesar 50-90 persen, tergantung dari campuran yang digunakan dalam pembuatan BBM ramah lingkungan tersebut.

Jesslyne menyadari adanya tantangan dalam memproduksi biofuel, seperti biaya produksi, ketersediaan pasokan bahan baku, kesiapan infrastruktur, serta dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah. Meski begitu, Jesslyne menilai Indonesia telah cukup berhasil dengan implementasi bio solar 35 persen atau B35.

"Menurut saya, Indonesia telah menunjukkan apa yang mungkin dicapai dengan mandat pencampuran biodiesel 35 persen yang sangat berhasil, atau program B35, yang 100 persen berbasis sawit, menghasilkan 12 juta ton biodiesel dan mengurangi 30 juta ton emisi gas rumah kaca," tuturnya.

"Saya kira itu setara dengan sekitar 20 persen dari emisi transportasi Indonesia tahun lalu. Jadi, ini sangat berhasil, bukan? Ini juga menghemat devisa sebesar Rp 161 triliun dengan mengurangi impor bahan bakar fosil ke Indonesia," tambah Jesslyne.

Â