Sukses

Sri Mulyani: Perubahan Iklim Bisa Bikin PDB Suatu Negara Turun hingga 10%

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan, berdasarkan studi menunjukkan skenaro terburuk, perubahan iklim dapat turunkan Produk Domestik Bruto (PDB).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak perubahan iklim bisa menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) 10 persen pada 2025.

"Sebuah studi menunjukkan bahwa skenario terburuk, perubahan iklim bisa mengakibatkan penurunan PDB hingga 10 persen pada tahun 2025. Ini cukup besar, 10 persen dari PDB," kata Sri Mulyani dalam Sesi Tematik Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/9/2024).

Dia menilai, dengan kehilangan 10 persen dari PDB, konsekuensi terhadap perekonomian sangat besar, utamanya dalam memerangi kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan akan semakin sulit pada masa mendatang.

"Jadi, menghilangkan atau mengurangi PDB 10 persen tentu konsekuensinya sangat besar, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi terutama dalam upaya kita memerangi kemiskinan dan juga penciptaan lapangan kerja, terutama bagi generasi muda," ujarnya.

Selain itu, suhu global yang terus meningkat juga mendorong frekuensi bencana alam semakin besar, dan dapat merusak infrastruktur yang telah dibangun sehingga menjadi sia-sia.

"Keparahan bencana alam, yang jika kita tidak benar-benar berhati-hati. Indonesia, membangun banyak infrastruktur yang dapat dengan mudah hancur atau rusak oleh perubahan iklim. Jadi, itu bisa menjadi upaya yang sangat sia-sia dan menghabiskan banyak uang," jelas Sri Mulyani.

Disamping itu, dampak ekonomi dari perubahan iklim tentu juga dapat memicu ketidakstabilan sosial-politik, di mana biasanya orang miskin atau yang paling miskin akan menjadi pihak yang paling menanggung akibatnya, dan itu dapat menciptakan kesenjangan sosial dan juga dapat menciptakan lebih banyak ketegangan politik. "Jadi, kita memahami bahwa perubahan iklim perlu ditangani," pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Butuh Kolaborasi dan Investasi Negara Maju

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin, membuka hari kedua gelaran Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC), Jumat (6/9/2024).

Rachmat menyampaikan, sebagaimana pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masalah perubahan iklim dapat diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif antara negara maju dan berkembang. Disisi lain, juga tidak mengesampingkan kemanusiaan dalam menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.

"Kita bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak hal yang bisa dilakukan. Kita harus meyakinkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri egosentris," kata Rachmat.

Dia menuturkan, tanpa kolaborasi, investasi, riset, dan teknologi, serta pembiayaan maka permasalahan perubahan iklim tidak bisa diselesaikan begitu saja.

"Tanpa pembiayaan dan laninnya maka permasalahan perubahan iklim tidak bisa diselesaikan," ujarnya.

Lebih lanjut, kata Rachmat, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan untuk melakukan kolaborasi maka penting untuk memahami antar sesama negara, bagik negara maju dan berkembang guna menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.

"Kemarin kita sudah melakukan dialog plenary session yang membahas mengenai transisi energi, Solusi penyimpanan energi, dan membahas mengenai bagaimana mencapai net zero emisi, serta solusi untuk polusi," ujarnya.

Adapun gelaran ISF 2024 akan ditutup dengan event summary dan rekap seluruh agenda oleh Deputi Rachmat dan Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta W. Kamdani.

Selain itu, Menko Luhut juga akan memberikan closing statement yang menjadi tanda resmi selesainya seluruh rangkaian pertemuan ISF 2024.

3 dari 4 halaman

Menko Luhut: GBFA Jadi Kunci Atasi Perubahan Iklim

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut B. Pandjaitan mengatakan, untuk mengatasi perubahan iklim membutuhkan investasi keuangan yang besar, mekanisme pendanaan yang inovatif, dan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Oleh karena itu, Luhut pun meyakini Aliansi Keuangan Campuran Global atau Global Blended Finance Alliance (GBFA) bisa menjawab kebutuhan itu.

"Saya sungguh-sungguh yakin bahwa Global Blended Finance Alliance (GBFA) yang digagas Pemerintah Indonesia bersama delapan calon anggota pendiri berperan sebagai alat strategis untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan dalam aksi iklim dan mencapai target SDGs," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut B. Pandjaitan dalam Sesi Tematik Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/9/2024).

Menurut Luhut, GBFA  bisa menjawab  kebutuhan nyata untuk bergerak maju dalam implementasi transisi energi, aksi iklim, dan mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Optimisme itu sejalan dengan deklarasi Kerangka Kerja Keuangan Iklim Global untuk memobilisasi keuangan iklim bagi negara-negara berkembang dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB atau  COP28 Dubai tahun lalu. Sistem keuangan campuran atau Blended Finance disetujui untuk membuka modal swasta guna meningkatkan tindakan iklim. 

"Komitmen ini sejalan dengan inisiatif GBFA dan kami akan membawanya di COP 29 Baku untuk pengembangan lebih lanjut proyek-proyek konkret dan menarik anggota potensial baru,” kata Menko Luhut.

 

4 dari 4 halaman

Kembangkan Platform Negara

Luhut menjelaskan, GBFA hadir dengan visinya untuk menjadi Organisasi Internasional guna membantu negara-negara berkembang untuk mengembangkan platform negara yang di dalamnya ada proyek-proyek pembangunan terkait SDGs dan aksi iklim yang disusun sehingga dapat dibiayai oleh calon investor.

Disamping itu, Menko Luhut mengatakan, GBFA juga akan mendukung South-South Collaboration untuk mencapai SDGs dan transisi iklim.

Di mana pada 1-3 September lalu, Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Indonesia-Africa Forum (IAF) ke-3 yang bertujuan untuk memperkuat kerja sama ekonomi, dan menjajaki kerja sama di bidang ketahanan pangan, perdagangan, investasi, dan energi. “Kolaborasi dengan knowledge partner yang strategis sangatlah penting akan mendukung dengan merancang program GBFA, membantu mobilisasi dana, dan memajukan kegiatan serta misinya,” pungkas Menko Luhut.