Liputan6.com, Bali - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM terus memperkuat pemahaman publik tentang pentingnya pengembangan brand (merek) untuk produk indikasi geografis (IG).
Pemeriksa Merek Utama DJKI Kemenkumham Layla Fitria menjelaskan perbedaan mendasar antara merek dan indikasi geografis.
Baca Juga
"Merek hanya membutuhkan daya pembeda untuk bisa didaftarkan, sementara IG mencakup reputasi dan karakteristik yang berasal dari daerah geografis tertentu," ungkap Layla, di Taman Werdhi Budaya Art Center, Bali, Sabtu (7/9/2024).
Advertisement
Ia menambahkan bahwa IG dapat didaftarkan sebagai merek kolektif untuk memastikan pelindungan lebih lanjut bagi produk yang dihasilkan oleh kelompok atau komunitas tertentu.
Ketua Masyarakat Pelindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Kintamani Bali, I Gusti Ngurah Rupa mengatakan membangun brand produk IG tidak hanya terkait produk akhir, namun juga harus memperhatikan asal-usulnya, salah satunya proses mendapatkan sertifikat IG.
"Untuk mendapatkan sertifikasi IG tidak mudah, membutuhkan proses panjang seperti yang terjadi pada Kopi Kintamani. Sertifikat IG kami dapatkan setelah melalui proses sejak tahun 2003, dan akhirnya diakui pada 2008," jelasnya.
Kopi Kintamani kini telah diekspor hingga ke Paris dan Jepang, berkat reputasi dan karakteristik uniknya.
Sementara itu, Direktur Teknologi Informasi Kekayaan Intelektual, Sugito menekankan pentingnya sosialisasi dan diseminasi kekayaan intelektual (KI) sebagai upaya pembangunan ekonomi di suatu negara dengan mendorong perkembangan industri, teknologi, serta budaya.
"Kemampuan suatu negara untuk melindungi KI akan menentukan posisi mereka dalam teknologi global dan aspek sosial. Kekayaan intelektual menjadi sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi karena unsur teknologi, industri, dan budaya adalah unsur vital dalam aktivitas ekonomi suatu negara,” ujarnya.
inovasi sistem pendaftaran Kekayaan Intelektual
Selain itu, pengembangan riset dan inovasi adalah kunci untuk membangun daya saing bangsa, khususnya di ranah perguruan tinggi. Kekayaan intelektual bukan hanya soal hukum, tetapi juga terkait dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat bangsa.
"Tantangan dalam dunia riset dan industri di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan seputar perbedaan kebutuhan industri dengan hasil inovasi yang dihasilkan. Hal ini penting karena telah banyak kegiatan riset yang menghasilkan berbagai inovasi di berbagai bidang akan tetapi masih belum banyak yang dimanfaatkan oleh industri," lanjut Sugito.
Sistem kekayaan intelektual dapat mendukung pertumbuhan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat akan mendapat manfaat dari basis pengetahuan yang lebih luas, peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan, dukungan seni kreatif yang lebih luas, akses yang lebih luas ke pasar internasional dan perlindungan konsumen yang lebih baik.
Sementara itu, Sugito menyebut acara ini menjadi momentum untuk memperkenalkan inovasi sistem pendaftaran KI secara daring, yang diharapkan dapat memudahkan masyarakat dalam mendaftarkan permohonan KI. Masyarakat dari berbagai kalangan dapat mengikuti panel diskusi secara gratis.
"Ini adalah upaya kami untuk mewujudkan DJKI sebagai unit pelayanan publik yang profesional dan berintegritas," ujar Sugito.
Advertisement