Sukses

Cukai Rokok Naik Lagi, Industri Rokok Tinggal Tunggu Waktu Gulung Tikar

Industri tembakau berpotensi melakukan gulung tikar karena mengalami penurunan jumlah produksi jika tarif cukai rokok naik lagi.

Liputan6.com, Jakarta Rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang digadang-gadang oleh pemerintah setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan dinilai akan semakin memberatkan ekosistem industri tembakau, termasuk para pekerja di dalamnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mengatakan kenaikan CHT yang tinggi selama ini telah menjadi beban berat bagi kelangsungan industri, sehingga jika kembali terjadi kenaikan cukai yang tinggi di tahun depan, maka industri tembakau akan dihantam beban ganda.

“Saat ini, industri tembakau legal nasional memiliki aturan yang padat (fully regulated), mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Daerah, belum lagi kebijakan cukai yang restriktif, ditambah teribtnya PP 28/2024 yang semakin memberatkan kelangsungan usaha industri pertembakauan nasional,” seru Sulami dikutip Selasa (10/9/2024).

Sulami melanjutkan dengan banyaknya tekanan regulasi tersebut, maka industri tembakau berpotensi melakukan gulung tikar karena mengalami penurunan jumlah produksi. “Kalau industri tembakau mengalami penurunan produksi, otomatis dampaknya kepada tenaga kerja,” ujarnya.

Oleh karena itu, Sulami berharap agar kenaikan cukai didasarkan pada tingkat inflasi yang berada di bawah 10%. “Kalau inflasi, otomatis kenaikan cukainya hanya satu digit. Ini sudah maksimal, mengingat industri tembakau sedang tidak baik-baik saja. Sudah banyak beban yang dihadapi oleh industri tembakau,” terangnya.

Di kesempatan terpisah, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, menyatakan setidaknya ada empat dampak negatif yang akan ditimbulkan dari rencana kenaikan cukai di tengah terbitnya PP 28/2024.

Pertama, kenaikan cukai yang tinggi akan membuat harga rokok semakin mahal yang tidak sebanding dengan daya beli masyarakat. Kedua, memberikan dampak pada penurunan omzet pedagang yang mengandalkan rokok sebagai pemasukan utama, termasuk dari berbagai larangan penjualan produk tembakau pada PP 28/2024.

 

 

 

2 dari 4 halaman

Ancam Tenaga Kerja

Jika hal itu terjadi, maka, ketiga, akan ada penurunan jumlah produksi dan mengancam tenaga kerja. Keempat, tingkat peredaran rokok ilegal akan semakin tinggi.

“Industri tembakau ini kan ekosistem. Jadi, kalau satu kena, maka yang lain juga kena. Saat industri terdampak (dari berbagai aturan), maka kita jadi tidak bisa lempar (memproduksi) barang, sehingga yang bisa leluasa beredar adalah rokok ilegal,” jelas Benny.

Benny juga mengakui bahwa terbitnya PP 28/2024 dan adanya kenaikan cukai rokok yang tinggi akan membebani pelaku industri. Ia berharap pemerintah untuk mengkaji ulang beleid yang baru saja disahkan tersebut. Terkait rencana kenaikan cukai rokok, Benny meminta pemerintah untuk turut memperhatikan nasib ekosistem industri tembakau.

“Kami sudah sampaikan dampaknya kalau ada kenaikan. Kenaikan cukai dengan kondisi sekarang paling tinggi ya sebesar pertumbuhan ekonomi. Idealnya di bawah 10%, sekitar pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Tak Terlibat Susun Aturan Tembakau dan Rokok Elektronik, DPR Murka

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI ramai-ramai mengemukakan ketidakpuasan mereka terkait proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, atau PP Kesehatan tentang produk tembakau dan rokok elektronik.

Pasalnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dianggap tidak menepati janjinya dalam memastikan terciptanya keterlibatan publik dan legislatif secara menyeluruh dalam penyusunan aturan ini. Pihak legislator dari berbagai partai mengkritik kurangnya partisipasi DPR dan masyarakat dalam proses perumusan yang dituding dilakukan sepihak oleh Kemenkes.

Anggota Komisi IX dari Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago, menyoroti kurangnya transparansi terkait proses penyusunan dan penjelasan mengenai PP Kesehatan dan peraturan turunannya. Irma juga menegaskan perlunya komitmen Kemenkes untuk melibatkan publik dalam proses pembuatan peraturan.

"DPR berharap agar ke depan, pelibatan publik menjadi prioritas dalam penyusunan peraturan pemerintah," tegas Irma dalam keterangan tertulis, Kamis (5/9/2024).

Kemenkes sendiri target aturan turunan PP Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan rampung di pekan kedua September ini. Namun, Permenkes ini disinyalir memuat ketentuan kemasan polos (plain packaging) untuk produk tembakau dan rokok elektronik, dengan referensi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tidak diratifikasi oleh Indonesia.

Untuk itu, anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS Kurniasih Mufidayati merasa tak puas terhadap penyusunan aturan PP 28/2024. Meskipun ada komitmen untuk melibatkan DPR dalam proses pembuatan PP, pada kenyataannya DPR tidak diundang dalam rapat-rapat terkait.

"Pada tahapan ini, justru kami sebagai perwakilan publik tidak diajak bicara. Saya kira ini jadi catatan dari penyusunan aturan," seru dia.

Kritik senada turut dilemparkan anggota Komisi IX DPR fraksi Partai Golkar, Darul Siska. Ia menyebut Kemenkes tidak memenuhi janji untuk melibatkan DPR dalam penyusunan PP 28/2024.

"Padahal, saat Undang-Undang Kesehatan disusun, Kemenkes telah berkomitmen untuk melibatkan DPR dalam proses penyusunan PP. Namun, PP tiba-tiba dikeluarkan tanpa melibatkan DPR dan menyebabkan banyak keluhan dari masyarakat," tuturnya.

4 dari 4 halaman

Pengusaha Keluhkan soal Standar Desain Kemasan Polos Dinilai Bisa Picu Rokok Ilegal

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang memuat soal pengaturan desain kemasan menimbulkan penolakan keras dari industri.

Usulan kewajiban penerapan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik itu muncul tanpa dasar hukum yang jelas. Hal tersebut seperti disampaikan Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita.

Pasalnya, lanjut Suryadi, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan maupun aturan turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sama sekali tidak mengamanahkan pengaturan terkait desain dan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik.

"Secara kolektif pemangku kepentingan sektor tembakau telah menolak usulan aturan kemasan polos. Karena memang secara historis Indonesia pernah melakukan gugatan kepada World Trade Organization (WTO) pada 2015 dan itu menjadi satu pertimbangan," ujar Suryadi melalui keterangan tertulis, Kamis (5/9/2024).

Dia menilai, kebijakan kemasan polos pun menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap merek dagang produk tembakau.

Berdasarkan draf tersebut, kata Suryadi, standar desain kemasan produk rokok baik produk konvensional maupun elektronik akan disamakan baik secara warna, desain, maupun font tulisannya.

"Pemilihan warna pantone 448 C sebagai warna yang harus digunakan seluruh produsen ini dirumuskan tanpa berkonsultasi dengan industri. Padahal, salah satu penelitian menyebutkan warna cokelat lumpur tua ini sebagai warna terjelek di dunia yang dapat berdampak negatif terhadap industri," jelas dia.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menambahkan, penyeragaman dari sisi warna dan desain pada kemasan rokok dikhawatirkan mendorong penyebaran rokok ilegal.