Liputan6.com, Jakarta Proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau PP Kesehatan dinilai berpotensi bermasalah.
Hal ini terutama terkait aturan-aturan yang berkorelasi antara kementerian yang satu dengan ranah kementerian lain. Hal ini menyusulbanyaknya penolakan sejumlah pasal dalam beleid tersebutdari pelaku industri, peritel, hingga pedagang.
Baca Juga
Salah satu pasal pada PP 28/2024 yang mengalami banyak penolakan ialah Pasal 434 yang di antaranya melarang penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Aturan ini dinilai dapat menurunkan omzet para pedagang kecil hingga peritel dan koperasi secara signifikan serta dapat memutus mata pencaharian para pedagang.
Advertisement
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, TrubusRahadiansyah, mengatakan bahwa banyaknya penolakan terhadap PP 28/2024 terjadi akibat minimnya partisi pasipublik dan Kementerian lain dalam proses penyusunan aturan tersebut. Hal ini menunjukkan proses penyusunannya tidak dilakukan dengan benar.
Trubus menekankan bahwa seharusnya semua pihak terkait, baik dari publik maupun Kementerian atau lembaga lainnya, harus bersama-sama merumuskan serta menyetujui beled ini. Pasalnya, banyak aturan dalam PP 28/2024 yang nyatanya menyangkut kepentingan di luar ranah kesehatan, seperti persoalan industri dan perdagangan.
Ia juga menegaskan bahwa Kemenkes tidak berdiri di atas Kementerian lain. Padahal, setiap Kementerian memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Oleh sebab itu, Kemenkes wajib berkoordinasi untuk bersinergi dengan Kementerian/Lembaga lain untuk pengaturan hal-hal diluar bidang kesehatan karena berada diluar kewenangannya.
“Jika terkait kesehatan, seperti urusan dengan dokter dan lain sebagainya itu silakan saja. Namun, untuk urusan di luar kesehatan, seperti persoalan industri maupun perdagangan harus melibatkan Kementerian terkait,” ujarnya kepada media.
Jangan Ada Ego Sektoral
Menurutnya, polemik pasal pelarangan produk tembakau pada PP 28/2024 akan mengancam keberlangsungan pelaku industri hingga pedagang, sehingga isu ini seharusnya menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Hal ini karena perdagangan memiliki keterkaitan dengan industri. Oleh karena itu, Kemendag seharusnya memiliki kewenangan untuk ikut menangani hal ini,” paparnya.
Trubus juga menduga adanya ego sektoral yang ditunjukkan oleh Kemenkes dengan tidak adanya paraf dari Kemendag dan Kemenperin dalam pengesahan PP Kesehatan.
“Ada kemungkinan Jokowi hanya menerima laporan dari Kemenkes saja. Oleh karena itu, harus segera dilakukanpembahasan ulang antar kementerian,” tutupnya.
Advertisement
Tak Cuma Industri, Pemda Ikut Cemas Jika Cukai Rokok Naik Lagi
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman memberikan dukungannya untuk pertumbuhan sentra tembakau di daerahnya. Dukungan ini diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah serta menjaga keberlangsungan para pekerja dan petaninya. Selain itu, Pemkab Sleman juga berharap industri tembakau tidak mendapatkan beban tambahan, terutama melalui kenaikan cukai yang terlalu tinggi.
Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, berharap pemerintah pusat sebaiknya tidak menaikkan cukai hasil tembakau pada tahun 2025. Permintaan ini juga didorong karena tingginya peralihan konsumsi para perokok ke rokok yang lebih murah (downtrading) yang dapat menekan pengusaha rokok yang legal.
“Kenaikan cukai rokok itu ada efeknya di masyarakat. Dengan mahalnya (harga) rokok, mereka mencari rokok yang harganya menengah ke bawah, karena rokok bermerek harganya sudah terlalu mahal. Kalau tidak salah, (penerimaan) cukai (di tahun ini) juga belum memenuhi target karena hal ini,” kata Danang dikutip Minggu (8/9/2024).
Ia melanjutkan dukungan terhadap perkembangan industri tembakau di daerahnya juga dilakukan melalui pemberian izin pendirian pabrik dan gudang rokok serta memastikan legalitasnya. Selain itu, dengan berkembangnya industri tembakau di Sleman, maka Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dikembalikan pada Pemerintah Daerah juga dapat dimaksimalkan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat, terutama yang terlibat di industri tembakau.
Bagi Pemkab Sleman, kehadiran industri tembakau yang padat karya, khususnya di segmen Sigaret Kretak Tangan (SKT), juga merupakan salah satu upaya penanggulangan kemiskinan.
“(Pekerja) Industri tembakau di Sleman itu mulai dari petani sampai pabrik rokok juga ada.Saya senang ada pabrik rokok di Sleman karena pabrik rokok itu bisa menampung dan mengampu tenaga kerjanya yang diambil dari warga yang masuk di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau artinya warga miskin. Karena pabrik rokok itu kan butuh tenaga kerja yang banyak,” terangnya.
Dampak Kehadiran Industri Rokok
Danang menambahkan pihaknya juga belajar dari pemerintah lain yang memiliki DBHCHT yang cukup besar karena kehadiran pabrik dan gudang rokok.
“Keinginan saya, kalau ada tambahan pabrik rokok di Sleman, sehingga DBHCHT yang dikembalikan ke daerah juga besar jadi manfaatnya bisa dinikmati oleh masyarakat setempat. Contohnya, bantuan sosial untuk buruh dan petani tembakau atau Perda terkait pemberantasan rokok ilegal,” ujarnya.
Kehadiran pabrikan rokok legal di Sleman dinilai dapat mendorong penyerapan kerja yang lebih besar, sesuai dengan inisiatif Pemkab dalam mengurangi warga miskin di Sleman dengan mendapatkan akses pekerjaan.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus lebih serius dalam memberantas rokok ilegal yang marak di pasaran untuk turut menjaga keberlangsungan para pekerja rokok legal.
“Khusus SKT itu butuh tenaga kerja yang kebanyakan adalah perempuan untuk menjadi pelinting, yang mempunyai keterampilan dan mau dilatih,” pungkasnya. Maka, pihaknya berkomitmen untuk terus menjaga keberlangsungan industri tembakau dan tenaga kerjanya, khususnya untuk SKT.
Advertisement