Sukses

Masuk RUU EBET, Skema Power Wheeling Berpotensi Bebani APBN

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai masuknya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bisa menjadi beban bagi APBN mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai masuknya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bisa menjadi beban bagi APBN mendatang.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah dan DPR RI tidak perlu memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET.

"Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan. Karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang," kata Abra dikutip dari Antara, Selasa (10/9/2024).

Menurut dia, lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik milik swasta melalui skema power wheeling.

Aturan power wheeling tersebut memperbolehkan pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya kepada masyarakat secara langsung dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.

"Ada beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara," katanya.

Risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.

Implikasinya, tambahnya, akan timbul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem kelistrikan sehingga setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya take or pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.

 

2 dari 4 halaman

Jaringan Tenaga Listrik

Dikatakannya, pemerintah tidak perlu memberikan iming-iming pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dalam RUPTL terbaru, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW), porsi swasta sudah mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

"Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, seharusnya menjadi benteng terakhir penolakan implementasi skema power wheeling yang berisiko merugikan negara. Karena Kementerian Keuangan tahu betul kondisi keuangan negara pada pemerintahan mendatang," ujarnya.

Abra menambahkan pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan/EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

"Terlepas dari instrumen yang akan diberikan, pengembangan energi baru terbaru terbarukan cukup menggunakan RUPTL yang sudah disepakati bersama," katanya.

Dia menegaskan pemerintah harus terus waspada terhadap pembahasan RUU EBET yang di dalamnya memuat pasal power wheeling karena risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap pembangunan dan masyarakat kecil.

3 dari 4 halaman

Awas, Kebijakan Ini Bisa Bikin Tarif Listrik Naik

Sebelumnya, Anggota Dewan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Riki Firmandha Ibrahim menilai pembahasan skema power wheeling pada RUU EBET sarat dengan kepentingan yang berisiko bertentangan dengan UUD 1945 karena membahayakan negara dan masyarakat.

“Klausul power wheeling sudah dua kali dibatalkan oleh MK, nah skarang ngapain pembahasannya masih masuk ke ranah yang sudah dinyatakan melanggar. Ngapain kita di situ,” tegas Riki dikutip Jumat (7/9/2024).

Dalam pembahasan RUU tersebut, lanjut Riki, masih terdapat indikasi kuat yang memaksakan skema power wheeling masuk ke dalam RUU EBET.

“Ini bakal berisiko mengerek tarif dasar listrik dan memperbesar anggaran subsidi yang diberikan oleh negara,” kata Riki yang kini juga menjadi anggota Dewan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia.

Riki menjelaskan, masuknya power wheeling berisiko membuat harga listrik energi terbarukan menjadi berbeda dengan harga listrik yang sudah ditetapkan pemerintah. “Proses distribusinya pun akan membuat biaya energi makin mahal karena negara akan kesulitan menentukan tarif dasar listrik,” kata Riki.

Untuk itu, Riki berharap agar RUU EBET lebih fokus pada insentif yang diberikan kepada pengembang energi baru terbarukan. “Bukan malah melegitimasi liberalisasi sistem ketenagalistrikan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, menurut Riki, sebaiknya pembahasan RUU EBET juga berfokus pada bagaimana teknologi energi terbarukan dapat berjalan di Indonesia.

“Hal ini sejalan dengan pemberian insentif atas teknologi energi terbarukan tersebut,” katanya.

 

4 dari 4 halaman

Pemberian Insentif

Dengan kebijakan pemberian insentif tersebut, Riki meyakini manfaat yang dihasilkan akan lebih besar untuk perkembangan atau pembangunan ekonomi melalui GDP.

“Apalagi ke depan ada pajak karbon, ada mengenai pinjaman hijau, dan lain sebagainya,” tegas Riki.

Dengan adanya pajak karbon yang dihasilkan dari RUU EBET, kata Riki, aturan itu bakal menguntungkan masyarakat.

“Bukan malah merugikan masyarakat dengan membebani tarif listrik yang tinggi,” katanya. Riki menegaskan, pembahasan yang memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET menjadikannya tidak tepat sasaran. “DPR dan pemerintah harusnya berpihak kepada masyarakat,” tutupnya.

Video Terkini