Sukses

Pertumbuhan Ekonomi 8% jadi PR Berat Prabowo, Begini Kansnya

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen menjadi PR yang berat bagi Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi PR yang berat bagi Presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Semua ini masih menjadi PR yang belum jelas penyelesaianya sampai hari ini. Prabowo pun belum berbicara secara terperinci soal ini," kata Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (11/9/2024).

Disamping itu, ia meminta agar Prabowo dan timnya berhenti menebar janji bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa tercapai selama masa Pemerintahannya.

"Dengan kata lain, angka 8 persen semestinya bukan untuk diumbar, tapi dijabarkan secara detail strategi dan langkah yang akan dilakukan untuk mencapainya. Yang jelas, solusinya bukanlah makan siang gratis," ujarnya.

Menurutnya, secara teoritik, untuk keluar dari jebakan lima persen dan keluar dari middle income trap, memang angka pertumbuhan yang dibutuhkan adalah 8 persen. Ronny pun mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi mencapai itu jika prakondisinya terpenuhi.

"Jadi, Prabowo sudah tak perlu lagi membaca apa yang sudah ada di atas kertas, tapi jabarkan langkah-langkah untuk mewujudkan angka di atas kertas tersebut. Itu menurut saya yang jauh lebih penting," tegasnya.

Ronny pun menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan Pemerintahan Prabowo di masa mendatang untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Langkah pertama, pemerintah harus aktif terlibat dalam membangun daya saing sektor manufaktur atau memodernisasi sektor manufaktur nasional secara serius dan signifikan agar menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi di pasar global agar mampu menyerap sebanyak-banyakanya tenaga kerja.

"Namun nyatanya hari ini sektor manufaktur kita semakin loyo," imbuhnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Aktif Mengembangkan Daya Saing

Kedua, pemerintah juga harus aktif mengembangkan daya saing sektor jasa agar lebih kompetitif dan semakin besar kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, melakukan revitalisasi dan modernisasi sektor pertanian, baik untuk ketahanan pangan maupun untuk ekspor. Hal ini sangat krusial sifatnya. Jaminan ketahanan perut nasional harus dikedepankan.

Keempat, mengakselerasi pembangunan SDM nasional agar menghasilkan angkatan kerja yang produktif dan kreatif, serta berdaya saing

Kelima, melakukan transfer teknologi serta pengembangan teknologi domestik agar tidak semakin tertinggal dengan negara maju. Terdapat berbagai skema untuk ini, mulai dari FDI sampai pada akuisisi perusahaan asing.

"Nah, semua itu bisa terjadi jika dibiayai dari perpaduan investasi publik atau anggaran negara dengan investasi swasta yang besar," ujarnya.

Kemudian, secara fiskal, Pemerintah harus mengefektifnya belaja pemerintah dan memastikan bahwa belanja tersebut menghasikan multiplayer effect kepada perekonomian nasional.

"Tak lupa, memerangi korupsi dan pungli secara serius dan berkelanjutan, sehingga menurunkan tingkat ICOR Indonesia. Dan melakukan intervensi, baik fiskal maupun regulasional, kepada sektor-sektor yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Prabowo Diminta Jangan Banyak Janji soal Pertumbuhan Ekonomi, Kenapa?

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, meminta agar Presiden terpilih Prabowo Subianto berhenti menebar janji terkait target angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selama masa pemerintahannya.

"Rencana angka 8 persen ini harus benar-benar didalami dan digodok secara serius oleh tim ekonomi Prabowo. Hentikan dulu janji-janji, dan paparkan rencana-rencananya agar publik bisa menilai dan memperdebatkannya," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (10/9/2024).

Menurutnya, jangan sampai demi mencapai angka 8 persen, Indonesia justru berubah menjadi negara otoriter dan bertangan besi. Jangan sampai, karena target tersebut, jejaring oligarki yang ada di kubu Prabowo-Gibran justru mengambil porsi terlalu besar, sementara rakyat hanya mendapat sisanya.

Ronny menilai, jika Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan yang signifikan, maka tren pertumbuhan di era Jokowi, yang terperangkap di kisaran 5 persen, kemungkinan besar akan berlanjut. Ia menekankan bahwa mencapai angka 8 persen bukanlah pekerjaan yang mudah.

Ronny juga menyoroti pernyataan tim ahli dari kubu Prabowo, seperti Dradjat Wibowo, yang membandingkan dengan era Orde Baru di mana pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 8 persen.

"Saya kira mereka harus belajar lebih banyak mengenai kondisi saat ini dan masa lalu. Booming minyak di era Soeharto sangat berpengaruh dalam pencapaian angka tersebut," ujarnya.

Ronny menjelaskan bahwa booming minyak dan lonjakan harga minyak dunia pada awal 1970-an, akibat perang Yom Kippur di Timur Tengah, membuat kantong Orde Baru mendadak membengkak. Hal ini memungkinkan intervensi pembangunan secara masif.

 

4 dari 4 halaman

Sektor Manufaktur

Selain itu, sektor manufaktur, terutama tekstil, juga memberikan dorongan besar bagi ekonomi saat itu, dengan menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kala itu, tekstil Indonesia merajai Asia Tenggara dengan ekspor yang besar.

"Dua faktor tersebut tidak ada lagi hari ini. Booming minyak sempat digantikan oleh commodity boom di era SBY, dengan kontribusi besar dari CPO dan batubara," tambahnya.

Namun, menjelang akhir masa pemerintahan SBY, daya dorongnya melemah, terutama pasca krisis finansial 2008 di Amerika. Akibatnya, yang terjadi adalah semacam "secular stagnation," istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Hansen pada tahun 1938, karena saat itu Amerika dianggap kehilangan sumber-sumber pertumbuhan baru.

Analisis tersebut terbantahkan ketika Amerika menemukan sumber pertumbuhan baru, yaitu permintaan besar untuk Perang Dunia II.

Setelah perang, sumber pertumbuhan beralih ke konsumerisme, hingga terhenti lagi pada 1970-an akibat krisis minyak dunia dan inflasi besar-besaran.

Pasca krisis finansial 2008, Larry Summers menghidupkan kembali istilah "secular stagnation" karena Amerika kembali terjebak dalam pertumbuhan ekonomi rendah. Ekonom Amerika menyebut beberapa tahun pasca krisis 2008 sebagai "Great Recession."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini