Sukses

Soal Utang Jatuh Tempo di Era Prabowo, Begini Kata Anak Buah Sri Mulyani

Menjaga pertumbuhan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi akan membantu menjaga level rasio utang Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga fokus pada pengurangan risiko utang dengan mengurangi rasio utang dalam mata uang asing dan penggunaan natural hedging

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah merilis Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dan saat ini sedang menunggu persetujuan dari DPR agar dapat disahkan menjadi Undang-Undang APBN. Selain itu, Pemerintah telah memberikan landasan untuk menciptakan transisi yang lancar dengan memungkinkan integrasi antara inisiatif penting Pemerintahan baru dan keberlanjutan program pemerintahan lama. 

 

Peran APBN sebagai shock absorber, seperti yang ditunjukkan selama pandemi COVID-19, di mana Pemerintah tidak dapat mengorbankan pertumbuhan domestik demi kesehatan anggaran. Selain itu, pengelolaan utang yang bijaksana juga akan menjadi prioritas bagi Pemerintahan yang baru.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia Suahasil Nazara dalam acara investor gathering bertajuk BRIDS Roundtable dengan tema “Kupas Tuntas APBN 2025: Strategi Pembangunan Berkelanjutan Indonesia” yang diselenggarakan BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS).

Dalam kesempatan itu, Suahasil juga menjawab pertanyaan mengenai profil jatuh tempo utang yang akan meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang.

“Menjaga pertumbuhan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi akan membantu menjaga level rasio utang Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga fokus pada pengurangan risiko utang dengan mengurangi rasio utang dalam mata uang asing dan penggunaan natural hedging,” ungkap Suahasil.

Dalam hal stabilitas dan volatilitas anggaran, Pemerintah meyakini bahwa mempertahankan pertumbuhan PDB riil pada 5% akan memastikan stabilitas dan mengurangi volatilitas jangka pendek, yang mengarah pada konsolidasi fiskal lebih lanjut dan peningkatan kesehatan anggaran.

Suahasil juga menyinggung tentang isu kelas menengah yang sedang ramai dibahas oleh publik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah masyarakat menuju kelas menengah dan kelas menengah mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir.

"Fokus dari pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah selama 10 tahun terakhir adalah untuk mengeluarkan orang dari kelompok yang berada di garis kemiskinan maupun yang rentan miskin, menuju ke kelompok yang lebih tinggi seperti kelompok menuju kelas menengah dan kelas menengah,” jelas Suahasil.

 

 

 

 

2 dari 4 halaman

Anggaran 2025

Sementara itu, Direktur Utama BRIDS Laksono Widodo mengungkapkan bahwa dengan menghadirkan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Perusahaan diharapkan dapat memberikan gambaran dan menjawab pertanyaan investor seputar implementasi RAPBN 2025 dan kebijakan Pemerintahan yang akan datang.

“Semoga acara ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kebijakan Pemerintah ke depannya, salah satunya terkait apakah ada perubahan yang signifikan baik dalam belanja, pendapatan, maupun asumsi makro antara RAPBN dan APBN 2025, serta apa saja risiko yang dapat mengganggu stabilitas fiskal Indonesia di tahun 2025,” jelas Laksono.

Menanggapi pemaparan Suahasil, Laksono menyampaikan Perusahaan menilai bahwa anggaran yang diusulkan tahun 2025 berfokus kepada kelancaran transisi, yang memungkinkan integrasi langsung antara inisiatif dan agenda penting pemerintah baru sembari memastikan keberlanjutan proyek-proyek utama.

“Jelas bahwa pemerintah menyadari tantangan yang dihadapi kelas menengah dan berkomitmen untuk mengatasinya. Bagi pemerintahan yang akan datang, kuncinya adalah berhasil meluncurkan program-program unggulan baru sambil mengelola kebijakan pajak yang memengaruhi kelas menengah dengan cermat,” tutup Laksono.

 

3 dari 4 halaman

Jelang Akhir Era Jokowi, Utang Pemerintah Tembus Rp 8.444 Triliun

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kondisi utang pemerintah hingga Juni 2024 atau semester I-2024 telah mencapai Rp 8.444,87 triliun. Utang tersebut naik sebesar Rp 91,85 triliun dari posisi utang bulan sebelumnya yang senilai Rp 8.353,02 triliun.

Dikutip dari dokumen APBN KiTa 2024, meningkatnya jumlah utang tersebut mendorong rasio utang pemerintah turut terkerek naik dari 38,71 persen menjadi 39,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juni 2024.

Kendati mengalami peningkatan, namun posisi utang itu masih di bawah batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.

"Jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2024 tercatat Rp 8.444,87 triliun. Rasio utang per akhir Juni 2024 yang sebesar 39,13 persen terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17 tahun2003 tentang Keuangan Negara," tulis Kemenkeu dikutip Rabu (31/7/2024).Adapun dalam laporannya, Kemenkeu mencatat utang pemerintah terdiri atas dua jenis, diantaranya berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman.

Namun secara mayoritas utang pemerintah per akhir Juni 2024 didominasi oleh instrumen SBN yaitu 87,85 persen dan sisanya pinjaman 12,15 persen.

Untuk rinciannya, hingga Juni 2024 jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN mencapai Rp 7.418,76 triliun, yang terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.967,70 triliun yang berasal dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.732,71 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 1.234,99 triliun.

Sementara, utang pemerintah dalam bentuk SBN valuta asing tercatat Rp 1.451,07 triliun, dengan rincian berasal dari Surat Utang Negara Rp 1.091,63 triliun dan SBSN Rp 359,44 triliun.

 

4 dari 4 halaman

Pinjaman Luar Negeri

Selanjutnya, untuk pinjaman luar negeri, utang pemerintah mencapai Rp 1.026,11 triliun per akhir Juni 2024. Dari angka tersebut terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 38,10 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,01 triliun.

Lalu lebih rinci lagi untuk pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,01 triliun terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 263,72 triliun, pinjaman multilateral sebesar Rp 600,47 triliun dan pinjaman commercial banks sebesar Rp 123,83 triliun.

Disisi lain per akhir Juni 2024, Kemenkeu mencatat profil jatuh tempo utang Indonesia dinilai masih terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di 7,98 tahun.

"Disiplinnya pemerintah mengelola utang turut menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit (S&P, Fitch, Moody's, R&I dan JCR) yang hingga saat ini tetap mempertahankan sovereign credit rating Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global dan volatilitas pasar keuangan," tulis Kemenkeu.