Liputan6.com, Jakarta - Kasus obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Teranyar, petugas imigrasi berhasil menangkap buronan obligor BLBI Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Marimutu Sinivasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat (Kalbar) pada Minggu sore, 8 September 2024.
Penangkapan obligor BLBI ini menjadi kabar baik jelang berakhirnya masa kerja Satgas BLBI pada akhir 2024. Adapun kabar penangkapan obligor BLBI Marimutu Sinivasan itu disampaikan Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim. "Iya (ditangkap), kemarin sore (Minggu, 8 September 2024),” ujar dia seperti dikutip dari Kanal Regional Liputan6.com, Senin, 9 September 2024.
Baca Juga
Kronologi penangkapan Marimutu Sinivasan berawal saat hendak melarikan diri ke Kuching Malaysia melalui PLBN Entikong. Saat itu, dia mengaku sakit dan tidak dapat turun dari mobil yang mengantarkannya ke tempat itu. Petugas memindai paspor dan ditemukan dalam sistem yang bersangkutan identik cekal 100 persen.
Advertisement
Seiring hal ditemukan identik cekal, Marimutu Sinivasan diperiksa lebih lanjut dengan wawancara singkat oleh petugas. Lewat wawancara itu ditemukan informasi Marimutu Sinivasan masuk daftar pencegahan dan pemegang paspor Indonesia.
Kakanwil Kemenkumham Kalbar, Muhammad Tito Andrianto langsung melaporkan dan berkoordinasi atas kejadian itu kepada Dirjen Imigrasi Silmy Karim.
Kemudian diinstruksikan proses selanjutnya sesuai Standar Operasional Prosedur dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Marimutu Sinivasan adalah salah satu dari 22 obligor/debitur BLBI yang ditangani Satgas BLBI. Marimutu pernah membantah kalau perusahaannya yakni Texmaco memiliki utang terkait BLBI.
Akan tetapi, pernyataan Marimutu dibantah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pihaknya memastikan perusahaan itu memiliki utang kepada negara terkait BLBI.
Texmaco bahkan meminjam dana kepada sejumlah bank sebelum krisis moneter 1998. Pinjaman itu dilakukan mulai dari bank BUMN hingga bank swasta.
Marimutu Sinivasan tercatat sebagai debitur terkait utang Grup Texmaco, dengan outstanding sebesar USD 3,91 miliar dan Rp31,69 triliun (belum termasuk BIAD 10%), dan sebagai obligor dengan nilai utang sebesar Rp790,557 miliar (belum termasuk BIAD 10%).
Selama periode penanganan oleh Satgas BLBI sejak Juni 2021 hingga saat ini, Marimutu tidak menunjukkan itikad baik untuk melakukan pembayaran atas utangnya.
Tercatat hanya satu kali pembayaran sebesar Rp1 miliar dilakukan PT Asia Pacific Fibers, Tbk., anak perusahaan Grup Texmaco.
Oleh karena itu, Satgas BLBI melakukan upaya-upaya pengembalian hak tagih Negara dalam bentuk penyitaan aset yang dimiliki Marimutu, dengan estimasi nilai aset sebesar lebih dari Rp6,044 triliun.
Selain penyitaan, upaya lain yang telah dilakukan Satgas di antaranya melakukan penjualan lelang atas jaminan/harta kekayaan lain Marimutu/Grup Texmaco dan memproses pembayaran konsinyasi/kompensasi/budel pailit terkait aset-aset Marimutu.
Bantahan Asia Pacific Fibers
Sementara itu, VP Business Communications and PR Asia Pacific Fibers, Prama Yudha Amdan membantah terkait kekeliruan informasi terkait PT Asia Pacific Fibers Tbk (APF) dalam pernyataan tertulis Ketua Satgas Rionald Silaban.
“Pernyataan Ketua Satgas, Marimutu baru sekali melakukan pembayaran utang sebesar Rp1 miliar yang dilakukan oleh PT Asia Pacific Fibers, Tbk., anak perusahaan Grup Texmaco.” Adalah tidak benar,” ujar dia dalam keterangan resmi.
Prama menegaskan, pernyataan APF sebagai anak perusahaan Texmaco Group adalah tidak benar. “APF saat ini beroperasi secara independen baik secara legal, operasional maupun finansial serta tidak memiliki perusahaan induk usaha,” tutur dia.
Ia menuturkan, Pada 1984, Texmaco Group mendirikan PT Polysindo Eka Perkasa Tbk yang merupakan industri serat dan benang polyester. Tahun 2005, PT Polysindo Eka Perkasa dinyatakan pailit di mana Pemerintah cq Kementerian Keuangan tercatat sebagai kreditor.
Polysindo mengajukan rencana perdamaian kepada semua kreditur yang diterima dan disahkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui putusan No.43/ PAILIT/ 2004/ PN. NIAGA. JKT. PST Jo. No.01 K/N/2005 tertanggal 16 November 2005. Dalam perdamaian tersebut terjadi konversi utang menjadi saham serta penyertaan modal kerja baru kepada Polysindo. Proses konversi ini mengubah komposisi pemegang saham dan mendilusi kepemilikan Texmaco.
“Atas dasar putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) ini, Polysindo beroperasi secara independen dan tidak memiliki afiliasi kepemilikan dari Texmaco Group. Tidak ada saham tercatat yang dalam pengendalian Texmaco Group maupun Marimutu Sinivasan. Pada 2009 Polysindo kemudian rebranding menjadi PT Asia Pacific Fibers Tbk,” ujar dia.
Prama mengatakan, sejak 2005 hingga kini, pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan yang mayoritas diwakili oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Selain itu, ia menuturkan, pernyataan “Marimutu melakukan pembayaran utang sebesar Rp1 miliar yang dilakukan oleh PT Asia Pacific Fibers, Tbk., anak perusahaan Grup Texmaco.” adalah tidak benar. Prama menuturkan, interaksi APF dengan Satgas BLBI pertama kali terjadi saat memenuhi panggilan Satgas terkait status APF pada 25 Agustus 2021.
“Kami memaparkan bahwa APF tidak lagi menjadi bagian dari Texmaco Group dan menjelaskan maksud kami menindaklanjuti proposal restrukturisasi sebagai solusi permasalahan APF sebagaimana pembicaraan sebelumnya,” ujar dia.
Pada 18 Januari 2022, APF memenuhi panggilan rapat oleh Satgas BLBI (POKJA B) yang pada intinya menyampaikan bahwa dibutuhkan itikad (komitmen) yang baik untuk membahas penyelesaian.
“Kami kemudian menyanggupi pemenuhan itikad baik tersebut dengan melakukan pembayaran sebesar Rp1.000.000.000 sebagai commitment fee untuk memulai pembahasan proposal restrukturisasi,” ujar Prama.
Pembayaran dilakukan pada 19 Januari 2022 kepada Kementerian Keuangan yang diwakili Satgas BLBI melalui rekening Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta III.
“Surat pengantar dan bukti pembayaran ini juga kami tembuskan kepada Bapak Ketua Satgas,” ujar dia.
Ia mengatakan, komitmen itu kemudian dicantumkan sebagai dari total komitmen Rp 10 miliar itikad baik untuk sejalan dengan persetujuan proposal restrukturisasi yang disampaikan pada 15 Agustus 2022.
"APF saat ini masih menghadapi tantangan penyelesaian restrukturisasi hutang yang telah mengendap hampir 20 tahun, dimana salah satu penyebabnya adalah asumsi yang tidak sesuai fakta pengaitan APF dengan Texmaco,” ujar dia.
Realisasi Pengembalian Dana BLBI
Selain Marimutu Sinivasan, Satgas BLBI juga berupaya mengejar aset obligor lainnya. Hal ini mengingat realisasi pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) baru mencapai 35,2 persen. Sedangkan total keseluruhan dana yang menjadi hak negara sekitar Rp 110 triliun.
"Hingga saat ini progres pengembalian dana BLBI sesuai data terkini sebesar 35,2% dari target keseluruhan," kata Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Adi Wibowo, kepada Liputan6.com, Rabu (11/9/2024).
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (MenkoPolhukam) Hadi Tjahjanto pernah menuturkan, Satgas BLBI telah memperoleh aset dan penerimaan negara hingga Rp 38,2 triliun. Jumlah tersebut terhitung sejak 2021.
"Sejak BLBI dibentuk pada tahun 2021 hingga saat ini, perolehan Satgas BLBI mencapai Rp38,2 triliun. Rp38,2 triliun dengan rincian, yang pertama adalah pendapatan negara bukan pajak ke kas negara senilai Rp1,5 triliun," ujar Menko Polhukam Hadi Tjahjanto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat, 5 Juli 2024.
Kedua, dalam bentuk sita barang, jaminan, harta kekayaan lain dan penyerahan jaminan aset seluas 19.366.503 meter persegi atau setara dengan Rp17,7 triliun.Ketiga dalam bentuk penguasaan aset properti seluas 20.857.892 meter persegi atau setara dengan Rp 9,1 triliun.
"Yang keempat dalam bentuk PSP dan hibah kepada kementerian lembaga, yang baru saja kita laksanakan di antaranya dan Pemda seluas 3.826.909 meter persegi atau setara dengan Rp5,9 triliun," ujar Hadi.
"Dan yang kelima dalam bentuk PMN non tunai, seluas 670.837 meter persegi atau setara dengan Rp3,7 triliun," Hadi menambahkan.
Masa Kerja Satgas BLBI Diperpanjang
Seiring masih banyak aset obligor yang perlu dikejar, masa kerja Satgas BLBI diperpanjang lagi hingga 31 Desember 2024. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Keppres Nomor 6 Tahun 2021.
"Satgas BLBI akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2024. Sementara masih terdapat hak negara dari obligor atau debitur yang belum diselesaikan," kata Hadi, demikian mengutip Kanal News Liputan6.com.
Bahkan, Hadi menuturkan, masih banyak aset yang harus diselesaikan sehingga tugas Satgas BLBI perlu dilanjutkan setelah 31 Desember 2024.
"Iya seperti yang saya sampaikan tadi masih banyak aset-aset yang harus kita selesaikan dan ini tentunya juga kita memerlukan perpanjangan atau perpanjangan dari Satgas ini untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalah yang di kita lakukan ya terhadap obligor maupun debiturnya," kata Hadi.
Advertisement
Negara Rugi
Seiring pengembalian dana BLBI baru sekitar 35 persen, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti kinerja Satgas yang tak mencapai target.
Huda menghitung ada kerugian yang harus ditanggung pemerintah. Sejak 2021 hingga 2024 ini, Satgas BLBI baru menyita sekitar Rp 38 triliun dari obligor BLBI. Padahal, ada target yang ditetapkan sekitar Rp 105 triliun yang harus disita.
"Dari Rp 105 triliun baru Rp 38 triliun which is itu tidak ada setengahnya dari apa yang seharusnya mereka tarik ataupun mereka sita dari pada pengemplang BLBI," tegas Huda kepada Liputan6.com, Rabu, 11 September 2024.
Dia menerangkan, negara harus menelan kerugian sebab harus menanggung bunga obligor BLBI yang jumlahnya cukup besar. Bahkan, pemerintah harus menanggung kerugian berganda.
"Jadi kalau misalkan baru Rp 38 triliun dan memang bunganya tidak ditagihkan dan pemerintah membayarkan ke obligor BLBI, ya ini kerugiannya double-double, kerugiannya dari bunga pokoknya, utang pokoknya yang enggak dibayarkan, baru dibayarkan enggak (sampai) 50 persen, ditambah lagi pemerintah harus membayar bunga obligor BLBI," ujar dia.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai kinerja Satgas BLBI lamban. Di mana, ada satu faktor yang paling menentukan penyitaan aset obligor BLBI.
Dia mencatat, ada faktor tebang pilih yang dilakukan Satgas BLBI. Bisa dibilang, penindakan yang dilakukan tidak merata.
"Pergerakan Satgas BLBI memang cukup lamban, karena banyak faktor juga yang mempengaruhinya, terutama faktor tebang pilih dan faktor banyaknya kepentingan yang terlibat di dalam masalah BLBI ini," tegas Ronny kepada Liputan6.com.
Tugas Satgas BLBI Harus Dilanjutkan
Huda menegaskan, Satgas BLBI harus terus dilanjutkan ke depan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban para obligor BLBI untuk menyelesaikan berbagai permasalahannya.
"Bukan perlu atau tidak, tapi kita melihat ini sesuatu yang wajib dilakukan karena masih ada pengemplang BLBI masih berutang ke negara. Jadi negara wajib untuk menagihnya dan kalau perlu sebetulnya dari bunga-bunganya itu harus ditagihkan karena ini merugikan sekali merugikan negara," tutur Huda.
Di sisi lain, berlanjutnya kerja Satgas BLBI disebut-sebut tak akan memunculkan gebrakan. Ronny menyampaikan, masalah yang dihadapi oleh satgas akan sama seperti periode Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Jika satgas BLBI berlanjut di pemerintahan Prabowo-Gibran, saya kira masalahnya juga akan sama," kata Ronny, dihubungi Liputan6.com.
Konflik Kepentingan
Huda memberikan catatan penting soal dugaan adanya konflik kepentingan antara para obligor dan pemerintah. Menurut dia, aspek ini yang juga harus menjadi perhatian pada upaya penindakan para pengemplang BLBI tersebut.
"Ini yang jadi catatan bahwa ini harus terlepas dari konflik kepentingan. Ini sebenarnya pengemplang BLBI itu ada konflik kepentingan dengan pemerintahan," ucapnya.
"Jadi itu yang harus dihilangkan kepentingan itu harus dipinggirkan dan kepentingan yang paling utama adalah para pengemplang BLBI itu adalah dia harus membayar yang beseta bunganya," Huda menambahkan.
Selain itu, Huda menilai, penguatan kelembagaan satgas diperlukan.
Advertisement
Hanya Sasar Target Obligor yang Aman
Ronny melihat, kinerja Satgas BLBI cenderung menyasar pada obligor yang tak berkaitan secara politik. Misalnya obligor yang serupa dengan Marimutu Sinivasan yang ditangkap pada 8 September 2024.
"Artinya, jika satgas BLBI berlanjut, target-target yang akan disasar adalah target-target yang aman, yakni target yang sudah tak memiliki patron politik lagi, seperti Sinivasan ini," kata Ronny.
Ronny mengaku tak yakin persoalan BLBI ini bisa selesai. "Catatan saya, saya pesimis masalah BLBI ini akan selesai," ujar Ronny.
Perlu Tindakan Tegas
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XI, Dolfie Othniel Frederic Palit mendukung Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas pada obligor BLBI yang tidak menunjukkan niat baik melunaskan utangnya.
"Kalau obligor yang sudah tidak punya niat baik untuk menyelesaikan, sebaiknya Pemerintah lebih tegas saja," ujar Dolfie kepada Liputan6.com.
Dolfie juga menyoroti capaian yang telah diraih Satgas BLBI hingga 5 September 2024, badan tersebut telah menyetor PNBP ke kas negara senilai Rp 1,84 triliun, menyita/penyerahan barang jaminan/HKL Rp 18,13 triliun, penguasaan aset properti Rp 9,21 triliun, PSP dan hibah Rp.5,93 triliun, dan PMN non tunai Rp.3,77 triliun.