Sukses

Penyaluran Kredit Bank untuk Batu Bara Masih Kencang, BRI Kasih Jawaban

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tak menafikan jika penyaluran kredit bank ke sektor pertambangan, khususnya batu bara masih mengalami lonjakan. Meskipun aspek pembiayaan hijau terus dikedepankan, suplai dana untuk batu bara masih memakan porsi besar.

Liputan6.com, Jakarta PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tak menafikan jika penyaluran kredit bank ke sektor pertambangan, khususnya batu bara masih mengalami lonjakan. Meskipun aspek pembiayaan hijau terus dikedepankan, suplai dana untuk batu bara masih memakan porsi besar.

Direktur Kepatuhan BRI A Solichin Lutfiyanto tak memungkiri bahwa kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih sangat besar. Jika perbankan tiba-tiba menyetop pembiayaan kredit untuk sektor batu bara, masyarakat ujung-ujungnya bisa ikut terkena imbas.

"Kalau banknya enggak mau ngasih pembiayaan ke batu bara, terus kita siap hidup di Jakarta kembali ke sekian tahun lalu, yang ada giliran mati lampu? Kalau teman-teman siap yo enggak apa-apa," ungkapnya dalam sesi media briefing Kementerian BUMN di Gedung Sarinah, Jakarta, Kamis (12/9/2024).

"Tapi dengan kita sudah mengawali bertahun-tahun enggak mengalami era mati lampu terus tiba-tiba mati lampu, ya bingung juga," kata Solichin.

Mengutip data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Juni 2024 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total penyaluran kredit perbankan ke sektor pertambangan dan penggalian sekitar 8 persen dari total kredit Rp 7.478 triliun.

Artinya, sekitar Rp 598,24 triliun kredit disalurkan untuk sektor tambang. Melonjak dibanding angka pada periode sama tahun sebelumnya, yakni Rp 253,17 triliun atau tumbuh 136 persen.

Lebih lanjut, Solichin turut membandingkan kondisi suplai listrik di kampung halaman istrinya di Lampung. Ia menyebut listrik di sana kini sudah tersedia 24 jam, dan sudah tidak ada pemadaman bergilir.

Sehingga, ia mengatakan penyaluran kredit perbankan untuk pertambangan batu bara bakal mengikuti arah kebijakan dari PT PLN (Persero) sebagai BUMN penyedia listrik.

"Jadi kalau kita di bank, ya kita lihat dulu dong PLN-nya gimana. PLN larinya ke mana, kapan PLN itu berhenti membiayai pembangkit batu bara. Di situ lah kita menyesuaikan," ujar Solichin.

"Jadi keterkaitannya akan panjang. Keberatannya seperti apa, selain dari aspirasi internal, kita lihat di luarnya seperti apa. Kalau memang di luarnya kondisinya belum, ya kita enggak bisa lebih maju," tandasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Diimbau Hati-Hati Pensiunkan PLTU Cirebon-1, Ini Alasannya

Sebelumnya, Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mendorong transisi energi dengan cara bertahap untuk memastikan keandalan energi hijau. Seiring hal itu, ia meminta pemerintah tak terburu-buru untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1, Jawa Barat. 

"Pemerintah harus hati-hati, jangan terburu-buru untuk memensiunkan atau menyuntik mati PLTU Cirebon-1," kata dia dalam acara Media Briefing Pertamina di Gedung Sarinah, Jakarta, Selasa (10/9/2024).

Komaidi menuturkan, sikap tergesa-gesa pemerintah untuk melakukan pensiun dini operasional PLTU Cirebon-1 berpotensi menimbulkan malapetaka bagi masyarakat kelas menengah bawah. Antara lain potensi krisis pasokan listrik yang mendorong kenaikan tarif listrik akibat tidak siapnya kapasitas energi hijau pengganti batu bara.

"Karena memang batu bara ini memiliki kapasitas operasional yang tinggi dibandingkan energi hijau seperti angin, matahari yang memiliki keterbatasan. Selain itu, mayoritas listrik di kita masih mengandalkan batu bara," kata dia.

Dia mencontohkan, krisis pasokan listrik yang memicu kenaikan tarif pernah dialami sejumlah negara maju di Eropa yang telah mapan menerapkan energi hijau. Masalah ini disebabkan oleh krisis energi  terhentinya pasokan gas akibat perang  Ukraina dan Rusia.

"Saat itu, masyarakat di Inggris, Jerman negara Eropa lainnya harus membayar tarif listrik yang tinggi akibat krisis energi karena terhentinya pasokan gas, sedangkan tidak ada pembangkit bersumber dari batu bara," kata dia.

Dia meminta pemerintah untuk menerapkan transisi energi secara bertahap dan memastikan keandalan energi hijau pengganti batu bara. Dengan ini, masyarakat dapat terhindar dari persoalan krisis energi akibat proses transisi yang terlalu cepat.

"Karena mau tidak mau kita masih bergantung pada baru bara, tapi kita juga perlu untuk mendorong transisi energi dengan cara bertahap untuk memastikan keandalan tadi energi bersihnya," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Tantangan Suntik Mati PLTU Cirebon-1

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait tantangan untuk melakukan pensiun dini operasional atau suntik mati PLTU Cirebon-1 di akhir tahun ini.

Dia menyebut, tantangan utama untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1  dari potensi pembengkakan biaya atas pemanfaatan energi hijau yang harus ditanggung PT PLN Persero hingga keuangan negara.

Bahkan, pelaku usaha juga ikut terdampak akibat dari kebijakan pensiun dini PLTU Cirebon-1. Menyusul, biaya pergeseran sumber energi dari fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan.

"Challengenya kita lihat dari biaya yang muncul akibat dari keputusan itu, konsekuensinya terhadap PLN, terhadap APBN dan private sector," ujar Sri Mulyani kepada awak media usai mengisi acara Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024  di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jumat, 6 September 2024.

Bendahara negara menambahkan keputusan untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1 juga harus dipastikan tidak melanggar peraturan yang berlaku. Kepastian hukum ini untuk mengantisipasi potensi kerugian negara akibat keputusan yang diambil pemerintah.

 

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.