Sukses

Ada Rencana Subsidi KRL Berbasis NIK, Bagaimana Mekanismenya?

Direktur Operasi dan Pemasaran KAI Commuter, Broer Rizal menanggapi mengenai rencana penetapan subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK.

Liputan6.com, Jakarta - PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menanggapi polemik rencana penerapan subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang bakal dimulai 2025.

Menurut Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, subsidi untuk transportasi umum diberikan juga untuk pengguna KRL Jabodetabek.

Direktur Operasi dan Pemasaran KAI Commuter, Broer Rizal menuturkan, pihaknya sebagai operator belum mengetahui secara pasti mekanisme penetapan subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK. Meski demikian, KAI Commuter siap menerapkan kebijakan subsidi KRL berbasis NIK apabila sudah ditetapkan Kementerian Perhubungan selaku regulator.

"Ya kita juga belum tahu seperti disampaikan pak humas tadi, bahwa ini belum diputuskan sehingga kami juga belum melakukan sosialisasi," tutur Broer kepada awak media di Stasiun Rawa Buaya, Jakarta, Kamis (12/9/2024).

KAI Commuter masih menunggu arahan lebih lanjut dari Kementerian Perhubungan terkait mekanisme subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK.

Bila sudah diputuskan, dia menjamin KAI Commuter akan terlebih dahulu untuk melakukan sosialisasi mekanisme subsidi KRL berbasis dengan NIK. dengan 

"Ketika sudah diputuskan, 3 bulan itu akan kami lakukan sosialisasi, bagaimana penggunaan, pemanfaatannya, berapa kenaikan, dan sebagainya ," ujar dia.

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan masih belum ada keputusan terkait kenaikan harga tiket kereta rel listrik (KRL).

"Sampai sekarang belum juga ya, karena belum ada keputusan apakah itu naik atau tidaknya. Tunggu saja, kita tunggu kabinet (pemerintahan) baru, baru kita seperti apa arahnya ya. Kalau tebak-tebakan tidak keren juga," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Mohamad Risal Wasal dikutip dari Antara.

Begitu pula terkait dengan soal wacana tarif tiket KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Risal menyampaikan hal tersebut belum ada.

Kendati demikian Kemenhub mengakui pihaknya sudah memiliki kajian terkait untuk menaikkan tarif kereta KRL sebesar Rp1.000. "Ada, kajian itu ada sebenarnya, waktu itu kita mau menaikkan sebanyak Rp1.000. Waktu itu ya Rp1.000-2.000 itu posisinya. Tapi itu belum, untuk penerapannya belum. Kajian itu ada, hanya cuma naik Rp1.000," kata Risal.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

2 dari 4 halaman

Harga Tiket KRL Bakal Naik? Ini Kata Kemenhub

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan masih belum ada keputusan terkait kenaikan harga tiket KRL atau kereta rel listrik.

"Sampai sekarang belum juga ya, karena belum ada keputusan apakah itu naik atau tidaknya. Tunggu saja, kita tunggu kabinet (pemerintahan) baru, baru kita seperti apa arahnya ya. Kalau tebak-tebakan tidak keren juga," kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Mohamad Risal Wasal dikutip dari Antara, Kamis (12/9/2024).

Begitu pula terkait dengan soal wacana tarif tiket KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Risal menyampaikan hal tersebut belum ada.

"Masih belum ada, pokoknya kita tidak tebak-tebakan dulu. Saya menunggu arahan dulu yang terbaru nantinya," ujarnya.

Kendati demikian Kemenhub mengakui bahwa pihaknya sudah memiliki kajian terkait untuk menaikkan tarif kereta KRL sebesar Rp1.000.

"Ada, kajian itu ada sebenarnya, waktu itu kita mau menaikkan sebanyak Rp1.000. Waktu itu ya Rp1.000-2.000 itu posisinya.Tapi itu belum, untuk penerapannya belum. Kajian itu ada, hanya cuma naik Rp1.000," kata Risal.

Sebagai informasi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, pemberian subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk tiket kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek pada 2025 masih bersifat wacana.

 

 

 

3 dari 4 halaman

Belum Ada Keputusan Final

Budi mengatakan, memang sedang dilakukan studi agar semua angkutan umum bersubsidi digunakan oleh orang yang memang sepantasnya mendapatkan subsidi.

Namun, kata dia, semua opsi yang ada masih bersifat wacana dan belum ada keputusan final.

Wacana pengenaan subsidi untuk KRL menjadi berbasis NIK ramai menjadi perbincangan di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu bermula dari pemberitaan yang mengutip data di Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 dari pemerintah yang diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama.

Dalam dokumen tersebut ditetapkan anggaran belanja subsidi PSO kereta api yang ditujukan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api, termasuk KRL Jabodetabek.

Beberapa perbaikan yang dilakukan yakni, salah satunya, dengan mengubah sistem pemberian subsidi untuk tahun depan.

4 dari 4 halaman

YLKI: Kebijakan Absurd!

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti wacana pemerintah mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Wacana tersebut dinilai kurang tepat bahkan absurd.

Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menegaskan kebijakan itu kurang tepat untuk diterapkan.

"Terkait penggunaan NIK untuk penyaluran subsidi KRL ini kebijakan yang absurd, kebijakan yang aneh menurut YLKI," kata Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).

Dia juga memandang kebijakan itu akan sulit diterapkan. Serta, akan menimbulkan kekacauan di para pengguna layanan.

"Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya.

Agus menilai, jika tujuannya adalah menaikkan tarif, seharusnya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu ada sosialisasi yang tepat sasaran.

Dia menyayangkan skema tersebut jadi pilihan. Kekhawatirannya akan muncul dua tarif berbeda padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.

"Jadi kalau pemerintah dalam hal ini Kemenhub ingin melakukan penyesuaian tarif sebaiknya memang dengan terbuka memyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada dengan sistem dual tarif berbeda," jelasnya.

"Yang satu menggunakan NIK kemudian mendapat subsidi sementara yang lain tidak. Ini satu layanan satu moda tetapi dengan tarif yang berbeda itu justru akan membingungkan konsumen," dia menambahkan.