Sukses

Kejar ESG, Banyak Perusahaan Masih Tinggalkan Aspek Tata Kelola dan Sosial

Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Achmad Solichin Lutfiyanto menuturkan, bicara ESG yang dibangun dulu governance, kemudian divisi ESG.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Achmad Solichin Lutfiyanto menyoroti, penerapan standar pengelolaan perusahaan berbasis enviromental, social and governance (ESG) yang belum menyeluruh. Lantaran, banyak perusahaan masih berpatok pada aspek hijau atau lingkungan dalam penerapan ESG.

"Sehingga karena memahaminya seperti itu, hampir semua forum ESG yang dibahas duluan adalah aspek environment. Jadi seolah-olah kalau kita tidak bicara yang hijau-hijau, kita tidak ESG. Sebaliknya, kalau kita bicara yang hijau-hijau, kita seolah-olah ESG," ujar Solichin dalam sesi media briefing Kementerian BUMN di Gedung Sarinah, Jakarta, Kamis (12/9/2024).

Mengutip mantan Gubernur Sentral Bank Prancis, ia mengatakan, ESG semestinya dimaknai berkebalikan sebagai GSE. Sehingga urusan governance alias tata kelola bisa dikedepankan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.

"Mungkin kalau di negara maju governance sudah tidak jadi isu lagi yang bisa mengedepankan praktik governance dengan baik. Tapi kalau di Indonesia, kita tahu lah, governance masih jadi isu di kita. Sangat relevan kalau kita bicara governance dulu," ungkapnya. 

Kedua, ia melanjutkan, aspek sosial hingga kapan pun akan jadi isu utama di negara berkembang seperti Indonesia. "Bukan berarti saya mengabaikan isu itu, tapi terkait enggak dengan aspek sosial. Jadi menurut saya yang pas di Indonesia kita fokus di governance, sosial, baru environment," imbuhnya.

"BRI melakukan hal yang sama. Makanya kalau kita bicara ESG, yang dibangun dulu governance-nya. dibangun dulu divisi yang urusin ESG. Aspirasinya mau ke mana. Kalau ini mau jalan, impact sosialnya seberapa besar," Solichin menambahkan. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Portofolio Pendanaan

Solichin lantas merujuk pada portofolio pendanaan berkelanjutan yang telah dikeluarkan BBRI, hanya kurang dari 20 persen yang mengarah ke green financing.

"Jadi kalau kita bicara portofolio BRI, dari Rp 1.000 triliun lebih, itu hampir Rp 700 triliun adalah sustainable loan. Hanya kalau bicara khusus green-nya saja, angkanya hampir sekitar Rp 90 triliun," ujar dia. 

BRI telah mengadopsi ESG sejak 2013. Bank pelat merah ini juga telah mendapat pengakuan ESG dari tiga lembaga rating internasional untuk kategori low risk, yakni dari Sustainalytics, MSCI, dan S&P Global. 

"Sekarang banyak orang bicara ESG, tapi ukurannya apa? Green financing itu adalah bagian kecil sekali dari kita bicara ESG. Kalau kita mau mengklaim implementasi ESG sesungguhnya, itu dasarnya adalah lembaga rating yang kredibel di internasional," ungkapnya. 

Hal senada diutarakan ekonomi Ryan Kiryanto, bahwa entitas bisnis yang telah laksanakan ESG semuanya mencerminkan peringkat risiko. Dimana skornya semakin rendah, maka risiko bank itu akan low risk. 

Menurut dia, perusahaan yang sukses mencapai ESG juga nantinya akan banyak diincar oleh para investor di pasar modal. Itu dibuktikan dengan harga saham BBRI yang terus melesat.

"Bank-bank atau perusahaan yang memiliki tingkat risiko rendah, efek dari penerapan ESG, itu biasanya sahamnya dicari-cari investor. Investor, pemodal, itu akan mencari-cari emiten yang sudah comply dengan prinsip ESG. Makanya kalau saham BRI terus naik enggak salah, karena ESG-nya memang sudah on the right track," tuturnya.

3 dari 4 halaman

95% Perusahaan di Indonesia Adopsi ESG untuk Tingkatkan Nilai Usaha

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri atau KADIN Indonesia menyoroti jumlah perusahaan di Indonesia yang semakin banyak mengadopsi nilai dan praktik ESG (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Perusahaan) dalam menjalankan bisnis. 

President Direktur Institute for Sustainability and Agility (ISA) dan Ketua ESG Task Force Kadin, Maria R, Nindita Radyati mengutip data dari Mandiri Institute pada 2023 yang menunjukkan bahwa 95% perusahaan di Indonesia mengadopsi ESG untuk meningkatkan nilai korporasi mereka.

"Kenapa perusahaan mengadopsi ESG? pertama karena corporate value. Perusahaan-perusahaan yang sudah go public di Indonesia, termasuk BUMN itu sudah sadar bahwa ESG harus menjadi bagian dari operasi harian mereka,” kata Maria dalam kegiatan Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) 2024 di Jakarta, Rabu (7/8/2024).

Maria melihat, memang belum ada regulasi khusus mengenai ESG. Tapi hal itu bukan berarti perusahaan di dalam negeri tidak melakukan persiapan dalam mendukung target pengurangan emisi Indonesia.

"Bukan berarti juga tidak ada regulasi yang tidak related dengan ESG. (Sudah) ada banyak sekali,” ujarnya.

Dalam studi Mandiri Institute 2023, 91% perusahaan yang disurvei mengungkapkan kontribusi pada lingkungan dan sosial menjadi salah satu alasan mengadopsi nilai ESG. 86% perusahaan mengaku mengadopsi ESG karena regulasi, dan 80% untuk reputasi. Sedangkan 70% perusahaan mengatakan nilai ESG penting untuk strategi bisnis, dan 44% untuk ekspansi pasar.

 

 

4 dari 4 halaman

Dorong Praktik Berkelanjutan, UMKM Diajak Mulai Pelaporan ESG

Sebelumnya, sektor bisnis tengah dihadapi banyak tantangan untuk ikut menjaga keberlanjutan dan kelestarian alam. Termasuk UMKM, yang juga dituntut meningkatkan kesadaran akan lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) untuk lebih peka terhadap isu-isu perubahan iklim dan lingkungan.

Merespons situasi itu, Modalku Modalku berkolaborasi dengan STACS, perusahaan solusi teknologi asal Singapura untuk mempromosikan platform ESGpedia bagi UMKM Indonesia yang ingin memulai perjalanan pelaporan ESG mereka.

ESGpedia memberikan gambaran umum yang terstruktur mengenai topik-topik ESG dan secara otomatis dapat mengkonversi data operasional seperti bahan bakar, zat pendingin, dan konsumsi listrik menjadi emisi gas rumah kaca berdasarkan metode ISO 14064-1 beserta Protokol Gas Rumah Kaca (GRK) yang disesuaikan di Indonesia.

Founder & Managing Director STACS Benjamin Soh mengatakan, ESGpedia dikembangkan untuk mengatasi kesenjangan data ESG di pasar ASEAN. Dengan menggunakan ESGpedia, ia mengklaim UMKM bisa mendapatkan akses gratis ke platform digital, yang menyederhanakan berbagai standar dan kerangka kerja pelaporan ESG.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini