Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Biden menyetujui penjualan trailer tank berat dan peralatan terkait senilai USD 164,6 juta (sekitar Rp2,5 triliun) kepada Israel, Kamis (12/9/2024), di tengah perang yang berlangsung di Jalur Gaza dan eskalasi di Tepi Barat.
Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan mengatakan telah memberi tahu Kongres Amerika Serikat tentang potensi penjualan dan pengiriman diperkirakan akan dimulai pada 2027.
Baca Juga
"Amerika Serikat berkomitmen terhadap keamanan Israel, dan sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Israel mengembangkan dan mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang kuat dan siap. Penjualan yang diusulkan sejalan dengan tujuan tersebut," katanya dikutip dari Antara, Jumat (13/9/2024).
Advertisement
Departemen Luar Negeri AS bulan lalu juga telah menyetujui penjualan jet tempur dan peralatan militer lainnya senilai 20 miliar dolar AS (sekitar Rp308,3 triliun) kepada Israel.
AS menghadapi sejumlah kritik karena memberi bantuan militer kepada Israel, mengingat lebih dari 41 ribu warga Palestina telah tewas di Gaza sejak 7 Oktober 2023 akibat pemboman Israel, yang digambarkan Biden sebagai "tanpa pandang bulu."
Sebanyak 1.139 orang tewas dalam serangan lintas batas pada Oktober 2023, yang dipimpin oleh kelompok perlawanan Palestina, Hamas, yang memicu perang saat ini.
Transfer Senjata ke Israel
Beberapa kelompok hak asasi manusia dan mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS telah mendesak pemerintahan Biden untuk menangguhkan transfer senjata ke Israel, dengan alasan pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia. Israel menolak tuduhan tersebut.
AS sejauh ini merupakan pemasok senjata terbesar ke Israel, dengan lebih dari 70 persen impor senjata Tel Aviv berasal dari AS, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Senjata buatan AS telah didokumentasikan dalam beberapa serangan di Gaza yang mengakibatkan korban sipil, meski otoritas AS menolak untuk mengonfirmasi rinciannya.
Ketika Sekolah di Israel Mulai Tahun Ajaran Baru, Anak-Anak Gaza Dibayangi Kematian dan Kehancuran
Sementara murid-murid di Israel memulai tahun ajaran baru mereka dengan membawa tas ransel, buku, dan alat tulis baru pada Senin, 9 September 2024, anak-anak di Gaza menghadapi kenyataan yang sangat berbeda. Anak-anak di wilayah kantong Palestina itu berada dibayang-bayang kematian karena serangan militer Israel atau sekolah mereka hancur jadi puing-puing.
Tahun ini, Israel bersiap menyambut lebih dari 2,5 juta siswa di seluruh negeri. Menurut media Israel, dikutip dari TRT World, Rabu, 11 September 2024, jumlah tersebut mencakup 535 ribu siswa taman kanak-kanak, 514 ribu siswa sekolah menengah atas, 335 ribu siswa sekolah menengah pertama, dan 1.174.000 siswa sekolah dasar. Bagi negara berpenduduk sembilan juta jiwa, tenaga kerja pendidikan sangat besar, terdiri dari 236 ribu staf, 5.754 kepala sekolah, dan lebih dari 200 ribu guru.
Namun tidak ada pidato sambutan, pelukan penuh air mata dari orangtua di gerbang sekolah, seragam baru, atau tas sekolah untuk anak-anak Palestina di Gaza. Tahun ajaran sekolah mereka masih ditangguhkan karena serangan Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Lebih dari 10 ribu siswa di Gaza meninggal dunia dan 15 ribu lainnya terluka akibat serangan Israel, dengan 19 ribu siswa mengungsi, menurut Kementerian Pendidikan Palestina. Israel juga telah menewaskan sedikitnya 400 guru dan merusak 90 persen bangunan sekolah di Gaza.
Sekitar 58 ribu anak Palestina tidak dapat naik kelas, yang merupakan batu loncatan dalam perjalanan akademis mereka. Hampir 41 ribu warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan tersebut dan sekitar 95 ribu lainnya terluka.
Advertisement
Israel Merampas Masa Depan 1 Generasi Anak-Anak di Gaza
Bahaa dan Batool, siswa SMA berusia 17 tahun di Gaza, seperti 89 ribu siswa SMA lain di Palestina, telah mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk universitas, yang dikenal sebagai Tawjihi. Namun, genosida Israel mencegah Bahaa dan sekitar 39 ribu siswa lain di Gaza mengikuti ujian dan mengejar impian mereka.
"Sayangnya, setelah perang, yang kami lakukan hanyalah mencari air, mengumpulkan kayu untuk membuat api, dan memanggang roti," kata Bahaa pada TRT World. Sejak Oktober 2023, sedikitnya 625 ribu anak di Gaza putus sekolah akibat perang.
"Saya berharap dapat masuk jurusan kedokteran gigi di Universitas Al-Azhar. Sekarang, saya berada di kamp pengungsian di Deir al Balah," kata Batool Abualatta pada outlet tersebut. Serangan brutal terhadap infrastruktur pendidikan di Gaza menyebabkan kehancuran total dan merampas masa depan satu generasi, membuat mereka cacat, trauma, dan tidak memiliki akses untuk belajar.
Pada awal Mei 2024, penilaian berbasis satelit menemukan bahwa 85,8 persen sekolah di Gaza rusak sebagian atau seluruhnya akibat serangan Israel selama berbulan-bulan. Ini termasuk sekolah-sekolah yang dikelola PBB di wilayah tersebut.