Sukses

Miris, Warga Kelas Menengah Bertahan Hidup Bermodalkan Tabungan Sejak 2020 Usai Kena PHK

Kelompok buruh menilai turunnya jumlah kelas menengah imbas dari banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan, diakui kalau banyak yang menggantungkan hidup pada tabungan yang dimiliki.

Liputan6.com, Jakarta Kelompok buruh menilai turunnya jumlah kelas menengah imbas dari banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan, diakui kalau banyak yang menggantungkan hidup pada tabungan yang dimiliki.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirah mengatakan, kelompok masyarakat kelas menengah mulai menggunakan tabungan sejak 2020 untuk bertahan.

"Kelas menengah telah hidup dari tabungannya sejak tahun 2020 dan saat ini tabungan mereka telah habis," kata Mirah dalam keterangannya, Jumat (13/9/2024).

Dia mengatakan, berkurangnya jumlah kelas menengah di Indonesia juga terimbas dari PHK yang terjadi. Pada saat yang sama, kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kembali pekerjaan.

"Jumlah kelas menengah semakin berkurang karena PHK massal dan untuk mendapatkan pekerjaan baru tidak mudah," tegasnya.

Sekalipun ada pekerjaan, kata dia, sistem kontrak harian atau outsourcing dari jasa penyalur yang ditemui. Ini dinilai belum bisa memastikan posisi pekerjaan yang diambil.

"Banyak juga kelas menengah ketika di PHK beralih menjadi driver online atau kurir paket online," ucapnya.

Minta Upah Naik 20 Persen

Mirah meminta pemerintah fokus untuk memperbaiki ekonomi pada sisa waktu hingga Oktober 2024 ini sebelum berganti pucuk kepemimpinan. Dia menegaskan, masyarakat membutuhkan harga bahan pokok yang murah dan terjangkau.

Di samping itu, dia juga menyarankan adanya kenaikan upah buruh sebesar 20 persen.

"Yang paling dibutuhkan oleh rakyat saat ini adalah turunkan harga barang kebutuhan pokok 20 persen, kembalikan dan di perluas subsidi rakyat, naikkan upah pekerja atau buruh 20 persen dan jangan keluarkan regulasi, kebijakan, keputusan yang merugikan rakyat banyak," pungkasnya.

2 dari 3 halaman

Buruh Tolak Potong Upah untuk Dana Pensiun: Kelas Menengah jadi Korban PHK

Sebelumnya, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat menyampaikan rasa keprihatinannya atas rencana pemerintah memotong upah pekerja/buruh untuk tambahan dana pensiun.

Dalam konteks ini, Mirah sepakat dana pensiun memang sebuah program sangat penting untuk menjamin masa depan kelompok buruh.

"Tapi pemotongan upah pekerja/buruh untuk tambahan dana pensiun jangka panjang sepertinya belum tepat diberlakukan untuk kondisi saat ini. Karena kondisi ekonomi pekerja/buruh Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja," ujarnya dalam pesan tertulis, Jumat (13/9/2024).

Mirah menyampaikan bahwa kelas menengah telah hidup dari tabungannya sejak 2020. Saat ini, tabungan mereka diklaim telah habis. "Jumlah kelas menengah semakin berkurang karena PHK massal, dan untuk mendapatkan pekerjaan baru tidak mudah," ungkapnya.

Kendati ada peluang atau lowongan kerja, maka kelas menengah korban PHK hanya mendapat pekerjaan yang sifatnya sementara dan tidak berkelanjutan, dengan status kontrak harian dan outsourcing. Selain itu, Murah menyebut banyak kelas menengah yang kemudian beralih menjadi driver online setelah kena PHK.

"Jika benar pemerintah jadi melaksanakan rencana untuk memotong upah pekerja/buruh lewat program dana pensiun, maka dipastikan kelas menengah masuk ke dalam jurang kemiskinan yang semakin dalam," tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti penerapan UU Cipta Kerja yang membuka peluang perusahaan melakukan PHK dengan mudah dan murah. Beberapa kasus yang ditemukan, ada perusahaan yang memecat pekerjanya, dan tidak memberikan uang pesangon karena alasan merugi.

"Belum lagi pasal-pasal yang terkait dengan status pekerja/buruh yang memperluas penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing di semua jenis pekerjaan," seru Mirah.

 

3 dari 3 halaman

Politik Upah Murah

Menurut dia, penerapan politik upah murah menyebabkan daya beli konsumen menurun. Sehingga hasil produksi berupa barang dan jasa menjadi tidak laku, dan pada akhirnya menumpuk di gudang perusahaan.

"Penumpukan barang menyebabkan perusahaan rugi dan akhirnya tidak sanggup untuk membayar upah pekerja/buruh, dan ujung-ujungnya adalah PHK," imbuh dia.

Di sisi lain, harga pangan dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi cenderung tidak terkendali. Mirah menilai, itu terjadi ketika Upah Minimum Provinsi (UMP) rata-rata naik 3 persen secara nasional, namun tidak diimbangi dengan nilai inflasi yang diatas 3 persen. Sehingga justru menciptakan deflasi imbas daya beli masyarakat yang rendah.

"Di tambah lagi dengan kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok yang naik rata-rata 20 persen. Akibatnya daya beli rakyat rendah, sehingga ekonomi bergerak lambat dan melemah," pungkas dia.