Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajukan permohonan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar birokrasi perizinan investasi energi hijau yang masih rumit dapat dipangkas.
Bahlil membagikan pengalamannya saat menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Baca Juga
Ia mengungkapkan bahwa proses perizinan investasi energi hijau sering kali harus melewati prosedur yang panjang di berbagai instansi sebelum proyek bisa dimulai.
Advertisement
"Masih ada beberapa masalah. Pak, masalah terbesar kita ini adalah birokrasi. Saya pikir saat saya menjabat Menteri Investasi, prosesnya di kantor kami seperti menunggu ayam tumbuh gigi, sangat sulit," ujar Bahlil dalam pembukaan The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (18/9/2024).
"Kenapa? Karena untuk mengurus izin investasi saja bisa memakan waktu hingga tiga tahun. RKKPL (Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), izin AMDAL, izin lokasi, semuanya bisa memakan waktu 2-3 tahun. Setelah masuk ke Kementerian ESDM, prosesnya juga memakan waktu lama. Eksplorasi saja bisa memakan waktu 2-3 tahun," jelasnya.
Baru Jalan 6 Tahun
Akibatnya, lanjut Bahlil, pengerjaan proyek energi hijau baru bisa dimulai pada tahun keenam, lebih lama dari satu periode masa jabatan presiden.
"Bayangkan saja, Pak. Sulit bagi kita untuk mempercepat langkah menuju target net zero emission pada 2060, padahal kita memiliki cadangan energi hijau yang sangat besar," tambahnya.
Oleh karena itu, Bahlil memohon kepada Jokowi agar proses birokrasi perizinan investasi dapat disederhanakan, terutama dalam hal persyaratan dan waktu, untuk memfasilitasi percepatan investasi dari para investor.
"Dengan begitu, para investor tidak perlu ragu. Saya sudah melaporkan kepada Bapak Presiden Jokowi, dan juga kepada Presiden terpilih Prabowo. Kami akan melakukan reformasi dengan langkah-langkah konstruktif demi percepatan," tutup Bahlil Lahadalia.
Â
Indonesia Tak Boleh Sembrono Ekspor Energi Hijau
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa energi baru terbarukan (EBT) saat ini menjadi incaran sektor manufaktur global. Namun, ia menegaskan Indonesia tidak boleh gegabah dalam mengekspor energi hijau tersebut.
Menurutnya, permintaan energi hijau oleh sektor manufaktur terus meningkat, terutama di kawasan ASEAN. Pernyataan ini disampaikan Bahlil di hadapan Presiden Joko Widodo pada pembukaan The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (18/9/2024).
"Bapak Presiden, kami melaporkan bahwa energi baru terbarukan saat ini menjadi salah satu yang diperebutkan di kawasan Asia Tenggara. Seluruh dunia sedang mengejar manufaktur yang berorientasi pada energi baru terbarukan dan harus menjadi green industry," ujar Bahlil.
Potensi Indonesia
Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor energi baru terbarukan. Selain itu, Indonesia sudah memiliki fasilitas carbon capture storage (CCS), yang belum dimiliki negara lain.
"Saya telah memerintahkan Dirjen Listrik dan EBTKE untuk tidak terburu-buru dalam mengekspor EBT. Kami setuju untuk mengekspor energi hijau, tetapi harus diatur dengan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu," tegasnya.
Bahlil meyakini bahwa nantinya pelaku industri manufaktur global akan berusaha keras menarik Indonesia agar bersedia mengekspor energi hijau.
"Pasti akan banyak rayuan. Seperti halnya wanita cantik yang pasti banyak dirayu. Namun, kita harus menjadi wanita cantik yang berkarakter, bukan yang mudah tergoda oleh pihak-pihak yang tidak jelas," katanya.
Selain itu, Bahlil juga menjelaskan bahwa Indonesia saat ini memiliki total kapasitas listrik sebesar 93 gigawatt (GW). Namun, hanya 13,7 GW atau sekitar 15 persen yang berasal dari EBT.
"Sesuai dengan target kebijakan energi nasional 2025, porsi EBT dalam bauran energi nasional diharapkan mencapai 23 persen. Namun, kenyataannya kita belum mencapai 23.000 MW, masih ada kekurangan 8 GW," pungkas Menteri ESDM.
Advertisement