Sukses

Ini PR Prabowo-Gibran soal Logistik Indonesia

Ketua Umum Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Hedy Rahadian, memaparkan berbagai kendala penyaluran logistik yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Hedy Rahadian, memaparkan berbagai kendala penyaluran logistik yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Paparan itu disampaikan Hedy pada seminar publik bertajuk "Membedah Program Strategis Pemerintah Baru dan Solusi Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045" yang digelar di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024).

Masalah pertama adalah pada infrastruktur jalur logistik itu sendiri yang belum memadai di seluruh wilayah.

 

"Saat ini jalur logistik di Indonesia pada jalan nasional baru dimiliki oleh Pulau Sumatera dan Pulau Jawa," kata Hedy, Rabu (18/9/2024).

Masalah kedua adalah kemacetan, yang mempengaruhi waktu pengiriman, serta berimplikasi pada peningkatan biaya logistik. Kerugian yang disebabkan akibat kondisi ini, menurut Bank Dunia, mencapai 4 miliar Dolar AS, atau setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

Selain itu, ada pula masalah pada banyaknya truk yang kelebihan dimensi dan muatan, alias Over Dimension Over Load (ODOL). Survei Ditjen Bina Marga 2017-2022, terdapat lebih dari 50 persen kendaraan ODOL.

"Banyak jalan kita dalam keadaan rusak ya, ini masalah ODOL ini sampai sekarang enggak selesai," kata Mantan Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR ini.

Dengan banyaknya berbagai masalah penyaluran logistik via jalan raya itu, Hedy pun mendorong pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang untuk mengoptimalkan jalur lain, misalnya via kereta api atau jalur laut.

Ia mencontohkan penyaluran logistik di negara-negara maju di Eropa. Di sana, penyaluran logistik yang melalui jalan raya hanya 70 persen. Sisanya, 20 persen menggunakan kereta api dan 10 persen melalui laut.

Penyaluran Logistik

Di sisi lain, Indonesia 90 persen masih mengandalkan penyaluran logistik via jalan raya.

"Kalau jarak dekat itu jalan memang efisien, tapi kalau jarak menengah itu adalah kereta api yang lebih efisien. Kalau jarak jauh itu laut yang lebih efisien dengan angkutan masalahnya," kata Hedy.

Ia pun optimistis, pemerintahan Prabowo-Gibran yang punya visi melanjutkan pemerintahan Jokowi, dapat menciptakan berbagai perbaikan agar penyaluran logistik lebih optimal lagi demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.

"Sekarang ini, sedang disiapkan Keppres tentang sistem logistik nasional nanti kita harapkan ini bahwa akan bisa dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru ya," kata dia.

Dalam seminar itu, turut hadir pula sejumlah narasumber, antara lain Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparrno, Ketua Umum Masyarakat Energi Biomasa Indonesia Milton Pakpakhan, dan Direktur Eksekutif Pengurus Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Yudha Permana Jayadikarta.

2 dari 4 halaman

Target Pertumbuhan Ekonomi 5,2% pada 2025 Jadi PR Pertama Awal Pemerintahan Prabowo

Sebelumnya, Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah resmi menyepakati asumsi makro ekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Hal tersebut disampaikan Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah, di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2024).  Dalam pembukaan, Said menyampaikan, berdasarkan kesepakatan hasil pembahasan asumsi dasar ekonomi makro pada 2025, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,2 persen.

"Hasil pembahasan asumsi makro pertumbuhan 5,2 persen, laju inflasi 2,5 persen," kata Said.

Selanjutnya, nilai tukar rupiah terhadap US dolar Rp 16.000, tingkat suku bunga negara (SBN) 10 tahun 7 persen, harga minyak mentah USD82 per barel, lifting minyak bumi USD605.000 barel per hari, lifting gas bumi ribu setara minyak bumi 1,005 juta boepd.

Said menyampaikan, sesuai kesepakatan Pemerintah melalui Menteri Keuangan dan Komisi XI DPR RI, menyepakati bahwa Pemerintah akan melakukan upaya kebijakan dan program untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan, dengan menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat.

Kemudian, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas belanja Pemerintah, memperkuat dan memperluas hilirisasi, mempertajam kebijakan pemberian insentif fiskal untuk mendorong investasi, dan mempercepat transformasi ekonomi untuk produktivitas, daya saing dan penguatan industri strategis nasional.

Selanjutnya, Said pun bertanya kepada peserta rapat kerja bersama Pemerintah terkait kesepakatan asumsi makro ekonomi dalam Rancangan APBN 2025.

"Dari panja asumsi, panja TDD, panja belanja, sampai panja draf RUU dapat disetujui?," tanya Said.

Para peserta pun menjawab dengan kompak bahwa mereka menyetujui asumsi makro ekonomi dalam Rancangan APBN 2025 tersebut. "Setuju," jawab para peserta rapat yang hadir.

Alhasil Ketua Banggar pun akhirnya mengetok palu untuk mendakan asumsi makro ekonomi dalam Rancangan APBN 2025 sudah resmi akan dilaksanakan oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto pada tahun pertamanya menjabat.

 

3 dari 4 halaman

Prabowo Bidik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 8%, Ini Saran Ekonom Indef

Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menilai, target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung Presiden terpilih Prabowo Subianto di masa depan bisa tercapai. Namun, untuk mencapai target tersebut, Presiden baru harus memperhatikan kapasitas fiskal yang dimiliki Indonesia pada saat masa transisi ke pemerintahan baru.

Apakah kapasitas fiskal tersebut mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, atau justru sebaliknya.

"Pertumbuhan ekonomi yang sekarang hanya berkisar 5%, namun Presiden terpilih Prabowo menyatakan target pertumbuhan ekonomi itu sekitar 8%. Apakah memang target ini real atau maksudnya akan tercapai atau tidak? Tentunya kita harus melihat kapasitas fiskal yang kita punyai," kata Esther Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9/2024).

Dia menuturkan, sangat penting untuk melihat kapasitas fiskal guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8%. Sebab, target tersebut merupakan beban berat yang harus dipikul oleh Pemerintahan baru.

Jika kapasitas fiskal nyatanya tidak cukup, kapasitas fiskal harus diperluas dengan meningkatkan penerimaan negara dan bijak dalam alokasi anggaran.

"Apakah memang bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi dan kalau memang kapasitas fiskal kita tidak terpenuhi atau tidak cukup, apakah yang langkah yang bisa kita lakukan?," ujarnya.

Esther menyampaikan, jika melihat ke belakang, tren rasio pajak di Indonesia cenderung turun dan rendah. Hal itu dilihat dari perkembangan rasio pajak dari tahun 1972 sampai 2023 yang memang cenderung menurun.

Kendati demikian, tren rasio pajak pada periode tertentu yakni 1978-1980 dan 1990-1992 cukup tinggi berada dikisaran belasan hingga 20-an persen. Namun, di tahun 2023 justru mengalami tren penurunan.

"Tertinggi pada tahun 1982 itu sekitar 22%, kemudian tahun 1990 itu sekitar 19%, terus kemudian tahun 2001 itu sekitar 16%, tapi kondisinya terus menurun hingga mencapai 10% saja," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Sisi Penerimaan Pajak

Selanjutnya, Esther pun membandingkan sisi penerimaan pajak pada 2014 yang merupakan awal periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ternyata penerimaan pajak mencapai target hanya pada 2021, 2022, dan 2023 karena saat itu harga komoditas sedang naik.

"Ternyata penerimaan pajak ini hanya tercapai targetnya pada tahun 2021, 2022 dan 2023. Itu pun karena harga komoditas yang booming, pada saat itu kelapa sawit sehingga berdampak positif pada penerimaan pajak," ujar dia.

Kata Esther, penerimaan dari sisi pajak saat ini relatif cenderung turun dan sekarang hanya 10% terhadap PDB. Sementara, dari sisi pengeluaran, belanja modal tercatat lebih kecil daripada pengeluaran rutin.

"Artinya belanja pembangunan ini seharusnya itu lebih besar daripada pengeluaran rutin, ini malah terjadi sebaliknya," ujarnya.

Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB juga relatif tinggi sebesar 38%. Ia mencatat selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, utang RI naik hingga 3 kali lipat.

"Utangnya pun juga relatif tinggi, sekarang rasio utang terhadap PDB itu sekitar 38%, kalau kita lihat dalam 10 tahun ini Presiden Jokowi, pemerintahan Presiden Jokowi ini utang naik 3 kali lipat," ujarnya.

Oleh karena itu, Esther menyarankan agar Pemerintahan selanjutnya lebih memperhatikan kapasitas fiskal terlebih dahulu sebelum mewujudkan visi, misi, dan program Presiden terpilih.

"Kalau melihat dari sisi fiskal, kapasitas kita itu ruang fiskal kita itu lebih kecil, karena rasio pajak atau penerimaan negara dari pajak itu cenderung turun dan rendah, kemudian dari sisi pengeluaran itu lebih condong pada pengeluaran rutin, tidak pada belanja modal," pungkasnya.