Liputan6.com, Jakarta Pengamat Energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menegaskan bahwa pengelolaan sistem ketenagalistrikan selain PLN merupakan pelanggaran konstitusi dan menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Penguasaan jaringan transmisi ketenagalistrikan harus dikuasai negara melalui BUMN, yaitu PLN. Itu amanat konstitusi yang diturunkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional/RUKN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik/RUPTL," katanya dikutip dari Antara, Rabu (19/9/2024).
Pernyataan Marwan tersebut menanggapi upaya beberapa pihak swasta dan bahkan BUMN lain non-ketenagalistrikan yang ingin menumpang jaringan ketenagalistrikan yang selama ini dikelola negara melalui PLN.
Advertisement
Melalui keterangannya dia menuturkan sistem ketenagalistrikan sebaiknya dijalankan sesuai aturan, dalam hal ini, yang bisa menjual listrik ke masyarakat hanya PLN.
Keinginan itu muncul bersamaan saat DPR dan pemerintah membahas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih alot karena power wheeling yang membolehkan perusahaan lain menumpang jaringan ketenagalistrikan yang saat ini dikelola PLN.
“Beberapa kali skema power wheeling disusupkan dalam RUU EBET. Meski skema power wheeling sudah berkali-kali dibatalkan MK, tetap saja muncul. Memaksakan power wheeling lagi, ya melanggar konstitusi lagi,” katanya.
Dikatakannya, putusan MK No.36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah PLN," katanya.
Selanjutnya, menurut dia, ada Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
"Terbaru, putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945," katanya.
Menurut dia skema power wheeling sangat berisiko mewariskan tarif listrik yang tidak lagi terjangkau bagi rakyat, apalagi jika power wheeling dibuka untuk swasta.Selain itu, tambahnya, negara juga dirugikan karena jaringan transmisi listriknya digunakan juga oleh swasta, sedangkan investasi jaringan listrik itu mahal.
PLN Butuh Rp 20 Triliun per Tahun untuk Turunkan Emisi
PT PLN (Persero) mengungkapkan bahwa pihaknya berambisi membantu mewujudkan target nol emisi karbon pada 2060, dengan Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Tetapi PLN juga membutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur transmisi energi.
Director of Legal & Human Capital PLN, Yusuf Didi Setiarto memperkirakan dana yang dibutuhkan PLN mencapai Rp 20 triliun per tahun.
"Proposal PLN konkret, kita membutuhkan dukungan pemerintah untuk mensukseskan ini sekitar USD 15 billion. Kalau dukungan goverment untuk infrastruktur transmisi dan lain-lain ini bisa diwujudkan sampai 2060. Jadi kira-kira Rp 20 triliun setahun disuntik ke PLN untuk pembangunan infrastruktur ini," kata Yusuf dalam paparan di St. Regis Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Menurutnya, jika dana itu bisa diraih setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur transmisi, maka cita-cita Indonesia nol emisi karbon pada 2060 bukan lagi mimpi semata.
"Insyaallah mimpi kita untuk menjadi lebih hijau di kemudian hari bukan sebatas isapan jempol," ujar dia.
"Kita akan menjemput energi hijau yang ada pusat-pusat pembangkitan seperti Sumatera yang kita tahu ada hydro power di Aceh Sumatera Utara dan beberapa di Sumatera Barat, sedangkan aset-aset geothermal berada di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat," jelas dia.
Advertisement
PLN Butuh Rp 20 Triliun per Tahun untuk Turunkan Emisi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti bauran energi baru terbarukan (EBT) dari pembangkit listrik milik PT PLN (Persero), yang masih kurang dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, berdasarkan RUPTL hingga 2025, bauran EBT dari pembangkit listrik hijau masih kurang 8,2 gigawatt (GW). Dengan nilai investasi yang diperlukan sekitar USD 14 miliar atau setara Rp 216,3 triliun (kurs Rp 15.456 per dolar AS).
"Kalau kita hitung ya, untuk mencapai bauran yang sesuai dengan RUPTL, jadi saya kan beberapa kali bilang, ini PLN utang sama Kementerian ESDM, karena RUPTL enggak pernah tercapai," ujar Eniya di Kantornya, Jakarta, Senin (9/9/2024).
Utang pembangkit listrik hijau itu terdiri dari berbagai macam jenis, mulai dari berbasis biomassa, biogas, sampah, panas bumi (geothermal), air, hydro, hingga baterai.