Sukses

Rp 182,2 Trilun Melayang Jika Kemasan Rokok Polos Diterapkan

Rokok kemasan polos dengan skenario permintaan produk legal menurun 42,09 persen akan memberikan dampak terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan bahwa usulan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan dampak penurunan ekonomi hingga sekitar Rp 182,2 triliun.

Usulan kebijakan tersebut dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

“Dampak ekonomi dari kemasan rokok polos bukan hanya bagi para industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkeh, termasuk yang lain juga terdampak," ungkap Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad dalam “Diskusi Publik Indef: Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram," Senin (23/9/2024).

"Ini akan berdampak ekonomi kurang lebih minus Rp.182,2 triliun,” bebernya.

Tauhid menilai, rokok kemasan polos akan mendorong downtrading atau fenomena ketika konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah, atau lebih buruk, beralih ke rokok ilegal yang berisiko menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09 persen. 

Ia juga memprediksi, kebijakan rokok kemasan polos berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 95,6 triliun.

Tauhid menjelaskan, melemahnya peluang ekonomi dan penurunan penerimaan negara dari kebijakan rokok kemasan polos adalah karena tidak adanya perbedaan antara satu merek dengan merek lainnya.

“Implikasinya apa? Bagi para konsumen dengan situasi ini, yang dilihat hanyalah soal price atau harga, sehingga implikasinya persaingan akan semakin ketat, yang terjadi ini juga memunculkan downtrading secara normal 2-5 persen, tapi yang ini kemungkinan bisa lebih besar lagi karena perbedaannya hanyalah soal harga," paparnya. 

"(Kehadiran) rokok ilegal juga bisa meningkat 2-3 kali lipat, karena apa? Ya sangat mudah untuk ditiru begitu dengan gambar yang sama, model yang sama, dan ini yang kemudian memunculkan implikasi yang sangat besar,” jelas dia.

Dia juga menyebut, rokok kemasan polos dengan skenario permintaan produk legal menurun 42,09 persen akan memberikan dampak terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor. 

“Bukanya hanya IHT (Industri Hasil Tembakau), tapi sektor-sektor lainnya juga terdampak,” imbuh Tauhid.

2 dari 3 halaman

Rencana Kemasan Rokok Polos, Siap-Siap Negara dan Industri Rugi

Sebelumnya, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai kontroversi masyarakat luas. Beleid ini diduga tidak berdasarkan kajian ilmiah sehingga berisiko merugikan para pelaku usaha sekaligus memberi tekanan tambahan yang tidak perlu terhadap perekonomian nasional.

Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono, menilai bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 maupun aturan turunannya, yakni RPMK lahir dengan cacat hukum dan berpotensi merugikan berbagai pihak.

“Peraturan ini begitu lahir, ada komplain di mana-mana, langsung mendapat keluhan dari berbagai asosiasi. Termasuk dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang tidak dilibatkan dalam proses perumusan,” kata dia dikutip Minggu (22/9/2024).

Sutrisno menyatakan bahwa banyak asosiasi, termasuk di sektor periklanan dan tembakau, telah mengajukan protes terhadap PP 28/2024. Ia menyoroti berbagai kejanggalan yang diamanatkan dalam regulasi. Misalnya, terkait zonasi dan batasan jarak 200 meter, yang dianggap tidak adil bagi pelaku usaha yang sudah ada terlebih dahulu.

“Lalu ada lagi aturan kemasan rokok polos tanpa merek di RPMK yang merugikan. Konsumen bisa saja beralih ke produk yang lebih murah dan ilegal, sehingga target penurunan prevalensi perokok tidak akan tercapai,” katanya.

Lebih lanjut, Sutrisno mengungkapkan bahwa konsumen mungkin akan membeli produk dengan harga lebih rendah yang bisa berujung pada peningkatan konsumsi rokok jika kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek diterapkan.

Dia juga menegaskan kebijakan ini sejatinya bertentangan dengan Undang-Undang yang melindungi hak atas merek dan menciptakan tabrakan hukum, termasuk soal pencantuman cukai yang tidak akan terlihat jelas karena desain kemasan didominasi oleh peringatan kesehatan.

3 dari 3 halaman

Dampak Ekonomi

Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak ekonomi dari kebijakan ini.

Ia mencatat bahwa industri rokok menyumbang 10% dari penerimaan negara dan memperingatkan bahwa regulasi yang berlebihan dapat memperburuk situasi ekonomi, terutama di tengah defisit anggaran yang dihadapi pemerintah. Dengan demikian, jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan, hal ini akan berdampak besar terhadap perekonomian baik dari aspek penerimaan maupun pertumbuhan ekonomi.

"Diperlukan keadilan bagi industri rokok, namun sulit mencapainya," jelasnya.

Dalam pembahasannya, Tauhid menyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), industri rokok tidak disebutkan sama sekali, menciptakan kekosongan dalam perhatian terhadap sektor ini. Ia memprediksi bahwa penerapan kebijakan kemasan polos akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03%, yang bisa berdampak luas terhadap sektor industri.