Sukses

Sebaiknya PP Nomor 28 Tahun 2024 Soal Kesehatan Direvisi, Ini Alasannya

INDEF memprediksi, usulan produk rokok kemasan polos dapat menimbulkan dampak ekonomi yang hilang sekitar Rp.182,2 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) merekomendasikan Pemerintah untuk mempertimbangkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Dalam aturan tersebut terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai rokok.

"Kami merekomendasikan dengan dasar yang cukup kuantitatif, pertama adalah PP 28/2024 harus direvisi, termasuk membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, khususnya pasal-pasal yang dinilai memberikan dampak terhadap penerimaan dan perekonomian negara," ungkap Ekonom Senior INDEF,  Tauhid Ahmad dalam "Diskusi Publik Indef: Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram," dikutip Selasa (24/9/2024).

"Karena kalau tidak direvisi dan dibatalkan, maka justru memperberat situasi yang terjadi karena situasi ekonomi kita kuartal ketiga diproyeksikan masih di bawah lima persen," lanjutnya.

Tauhid memprediksi, usulan produk rokok kemasan polos atau tanpa merek dapat menimbulkan dampak ekonomi yang hilang sekitar Rp.182,2 triliun.

Kebijakan ini juga diperkirakan mengurangi penerimaan negara sekitar Rp 95,6 triliun.

Selain itu, rokok kemasan polos juga berisiko mendorong terjadinya fenomena downtrading (konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah) hingga beralih ke rokok ilegal lebih cepat 2-3 kali lipat dari yang sebelumnya, serta menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen.

Adapun sisi tenaga kerja yang terdampak diprediksi mencapai 2,29 juta orang atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja.

"Maka, kalau pertumbuhan ekonomi lima persen bisa menyerap kurang lebih 1,5 juta orang, bayangkan 2,29 (juta orang) itu akan langsung terdampak, bukan hanya PHK tetapi juga (risiko) penurunan pendapatan," jelas Tauhid.

2 dari 3 halaman

Rp 182,2 Trilun Melayang Jika Kemasan Rokok Polos Diterapkan

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan bahwa usulan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan dampak penurunan ekonomi hingga sekitar Rp 182,2 triliun.

Usulan kebijakan tersebut dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

"Dampak ekonomi dari kemasan rokok polos bukan hanya bagi para industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkeh, termasuk yang lain juga terdampak," ungkap Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad dalam “Diskusi Publik Indef: Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram," Senin (23/9/2024).

"Ini akan berdampak ekonomi kurang lebih minus Rp.182,2 triliun,” bebernya.

Tauhid menilai, rokok kemasan polos akan mendorong downtrading atau fenomena ketika konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah, atau lebih buruk, beralih ke rokok ilegal yang berisiko menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09 persen. 

Ia juga memprediksi, kebijakan rokok kemasan polos berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 95,6 triliun.

 

3 dari 3 halaman

Tak Ada Perbedaan Merek

Tauhid menjelaskan, melemahnya peluang ekonomi dan penurunan penerimaan negara dari kebijakan rokok kemasan polos adalah karena tidak adanya perbedaan antara satu merek dengan merek lainnya.

"Implikasinya apa? Bagi para konsumen dengan situasi ini, yang dilihat hanyalah soal price atau harga, sehingga implikasinya persaingan akan semakin ketat, yang terjadi ini juga memunculkan downtrading secara normal 2-5 persen, tapi yang ini kemungkinan bisa lebih besar lagi karena perbedaannya hanyalah soal harga," paparnya. 

"(Kehadiran) rokok ilegal juga bisa meningkat 2-3 kali lipat, karena apa? Ya sangat mudah untuk ditiru begitu dengan gambar yang sama, model yang sama, dan ini yang kemudian memunculkan implikasi yang sangat besar," jelas dia.

Dia juga menyebut, rokok kemasan polos dengan skenario permintaan produk legal menurun 42,09 persen akan memberikan dampak terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor. 

"Bukanya hanya IHT (Industri Hasil Tembakau), tapi sektor-sektor lainnya juga terdampak," imbuh Tauhid.