Sukses

Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Bakal Hambat Pengawasan

Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani menilai, penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terus menjadi sorotan.

Sejumlah kementerian bertanya-tanya soal penerapannya. Sekaligus menganggap penyusunan aturan itu tergesa-gesa tanpa melibatkan banyak masukan. Seperti dilontarkan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.

Ia menyebut penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.

"Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," kata Askolani dikutip dari keterangan tertulis, Senin (30/9/2024).

Menurut dia, eksekusi aturan itu dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat. Selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.

Askolani menjelaskan bahwa pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat.

"Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," sambungnya.

Meskipun demikian, ia memastikan bahwa Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini. Termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran. 

"Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," ujar dia.

Askolani tak memungkiri kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. 

"Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini," tuturnya.

 

2 dari 3 halaman

Ini Dampak Buruk Kemasan Rokok Polos jika Diterapkan

Sebelumnya, ekonom kembali menyoroti potensi kerugian ekonomi akibat rencana untuk memberlakukan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, memaparkan kalkulasi potensi dampak ekonomi yang hilang dari tiga skenario kebijakan terkait industri tembakau pada PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan dalam radius 200 meter, dan larangan iklan, dapat mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan menurun sebesar Rp160,6 triliun.

“(Akibatnya apa dari kemasan rokok polos tanpa merek?) Downtrading, karena tidak ada lagi pemisahan rokok lain. Rokok ilegal gampang ditiru, tinggal font-nya diubah-ubah. Saya kalau misalnya jadi pelaku industri yang ilegal begini, saya tinggal buat merek yang dijajarkan dengan aslinya, bedanya apa sekarang? Sedangkan penerimaan negara bisa loss juga di sana,” terang Andry dikutip Jumat (27/9/2024).

Selain itu, Andry juga menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih rancu karena tidak disebutkan dengan jelas tempat pendidikan seperti apa yang dimaksud.

Selain itu, pembatasan penjualan di tempat bermain anak juga dinilai tidak masuk akal jika diimplementasikan dan justru menimbulkan ketidakpastian usaha karena pungutan liar di lapangan.

“Ini yang perlu diluruskan kembali, mau diletakkan di satuan pendidikan mana? Karena masih belum jelas. Dampaknya ya memunculkan rokok ilegal yang akan masuk dan mudah dibeli ketengan,” ungkapnya.

 

3 dari 3 halaman

Kehilangan Pendapatan Negara

Andry juga menjelaskan dampak yang dapat terjadi jika aturan ini diberlakukan pada masa Pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia mengingatkan kembali potensi kehilangan pendapatan negara yang terjadi dapat mencapai lebih dari Rp200 triliun, terutama dari hilangnya penerimaan cukai hasil tembakau. Potensi kehilangan ini juga akan menghambat target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang direncanakan pemerintahan baru kelak.

“Rp308 triliun itu dampak ekonomi secara general, kalau Rp160 triliun itu dari penerimaan cukai hasil tembakau saja. Sebaiknya ini diajak berunding dulu, karena jangankan asosiasi, kementerian lain saja nggak diajak (berdiskusi bersama Kemenkes). Kita ini negara hukum, ya semestinya harus sesuai dengan hukumnya,” tegasnya.

Dari sisi pelaku usaha tembakau, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, menjelaskan bahwa rokok ilegal merupakan ekses dari berbagai regulasi yang mencekik. Sekarang, ditambah adanya PP 28/2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes, maka negara harus siap kehilangan triliunan rupiah.

“Untuk masalah kesehatan, kami sepakat kami tidak mau Indonesia tidak sehat. Tapi, untuk perumusan regulasi ini tidak bisa hanya kesehatan saja yang menjadi pembahasan. PP 28/2024 harus di review ulang, dan Rancangan Permenkes dihentikan saja. Karena masih banyak kementerian, terutama Kementerian Perindustrian belum diundang,” jelasnya.

 

Video Terkini