Liputan6.com, Jakarta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang memandatkan kemasan rokok polos tanpa merek sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dinilai tidak tepat untuk dijalankan dan berpotensi merugikan masyarakat dan negara dikarenakan minimnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses perumusannya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, mengatakan sebagai sektor hilir, sektor tembakau telah berkontribusi besar bagi pendapatan usaha ritel sampai PDB, sehingga imbas hilangnya pendapatan pelaku usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes perlu dimitigasi baik-baik oleh pemerintah.
Baca Juga
Roy terus menyayangkan pelaku usaha, sebagai ujung pelaksana aturan pemerintah, yang justru tidak diajak bicara dan seringkali mendapatkan misinformasi akibat pengambilan keputusan yang tidak transparan.
Advertisement
“Peran Kemenkes jangan sampai tumpang tindih. Ada pasal yang ambigu dan tidak bisa dilaksanakan, lalu apakah pasal itu hanya menjadi pajangan? Sementara di lapangan terjadi ‘perdamaian’ dengan oknum. Ini antara input, proses, dan outputnya saja sudah tidak benar,” keluhnya dikutip Senin (30/9/2024).
Roy menyoroti kekhawatiran pelaku usaha yang telah mematuhi aturan menjual produk legal, akan dihadapkan dengan peningkatan rokok ilegal yang dapat terjadi akibat aturan ini. Bukannya fokus pada penekanan rokok llegal, pemerintah justru malah menekan penjualan rokok legal yang selama ini telah berkontribusi besar terhadap negara.
“(Penyusunan aturan ini) perlu ada keterlibatan pelaku usaha. Silakan jika ingin fokus ke kesehatan, tapi jangan mengatur penjualan dan ikut sertakan kami pelaku usaha. Itulah suara hati kami dari warung-warung, toko tradisional, semua menyuarakan hal yang sama,” pintanya.
Kondisi Sektor Tembakau
Sementara itu, pembuatan aturan turunan dengan model omnibus tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi sektor tembakau yang mencakup lingkup besar dari hulu hingga ke hilir, sehingga pendalaman materi menjadi terbatas dan kurang mempertimbangkan imbas kedepannya.
Praktisi Hukum Administrasi Negara Hari Prasetiyo, melihat kondisi ini dari perspektif hukum, di mana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berwenang di bagian kesehatan perlu memastikan kebijakannya fokus pada bidangnya terlebih dulu sebelum mengatur komoditas lain, terlebih yang memiliki dampak ekonomi masif dan sistemik.
“Dari aturan turunan yang dikeluarkan saat ini pun, aturan zat adiktif terlalu menyudutkan tembakau dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan yang sebelumnya telah disahkan,” terangnya.
Hari menyoroti kemunculan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes merupakan aturan yang dipaksakan dan tidak sesuai dengan UU Kesehatan dan PP 28/2024.
“Kalau tembakau mau diatur, pemerintah perlu duduk bareng dengan pelaku usaha dan tanyakan apa yang mau diatur. Sepakati itu dulu. Harus sesuai dengan statement Presiden agar jangan sampai kebijakan memberikan dampak buruk ke masyarakat,” tegasnya.
Advertisement
Kata Pelaku Usaha Rokok Elektrik
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, juga kerap menyayangkan proses perumusan peraturan pemerintah secara omnibus yang menitikberatkan justifikasi.
Di mana pelaku usaha dinilai hanya sebagai ‘cadangan’ yang tidak dilibatkan dalam penyusunannya, padahal sektor tembakau memiliki banyak stakeholder dengan berbagai kepentingan yang tidak boleh disimplifikasi.
“Dengan aturan yang diomnibuskan ini, kita jadi terlihat kecil dan terpinggirkan. Setelah PPnya keluar, Kemenkes percepat semua prosesnya. Ini kan memang gejala yang cukup aneh, tidak tahu apa ini pernah terjadi di negeri ini sebelumnya atau tidak,” tukasnya.
Berdasarkan hasil studi dampak dari Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi yang signifikan. Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun.