Sukses

Dituding Pemda Manipulasi Data Inflasi, BPS Buka Suara

Badan Pusat Statistik (BPS ) buka suara terkait tudingan manipulasi data inflasi oleh oknum pemerintah daerah yang dikemukakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS ) buka suara terkait tudingan manipulasi data inflasi oleh oknum pemerintah daerah yang dikemukakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Mendagri Tito menyebut, oknum pegawai pemda bersangkutan mencoba memilih jalan singkat dengan melakukan sogok kepada Badan Pusat Statistik (BPS) daerah agar memperoleh data inflasi yang diinginkan.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa pihaknya selama ini berkomitmen untuk menjaga independensi. Dia memastikan tidak ada intervensi dari pihak manapun dalam melakukan berbagai survei, termasuk inflasi.

"Dapat kami sampaikan kegiatan pengolahan data maupun pengumpulan data ini kami lakukan secara independen, tidak ada intervensi dari pihak lain," kata Amalia di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Dia menekankan bahwa BPS telah mengadopsi metodelogi penelitian sesuai dengan standar internasional dan mematuhi kaidah-kaidah statistik. Dengan ini, data yang dihasilkan BPS dapat dipertanggungjawabkan.

"Kami menggunakan metode sampling tertentu yang sudah sesuai dengan kaidah-kaidah metodologi statistik, dan tentunya ini sekali lagi angka yang dihasilkan oleh BPS tentunya dapat dipertanggungjawabkan independensinya itu yang bisa saya sampaikan," beber dia.

Terkait dengan lokasi pemilihan sampel, termasuk operasi pasar murah di sejumlah daerah. Dia menjelaskan, operasi pasar murah sebagai salah satu langkah konkret pemerintah untuk mengendalikan inflasi di daerah dan tentunya pembentukan harga di daerahnya.

Trik Baru

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap sejumlah trik baru yang kerap dipakai oknum pemerintah daerah (pemda) untuk menyamarkan angka inflasi.

Mulanya, ia mengatakan, oknum daerah bersangkutan coba memilih jalan singkat dengan melakukan sogok kepada Badan Pusat Statistik (BPS) daerah.

Jika cara itu gagal, lanjutnya, oknum pemda tersebut mencermati data bulanan BPS. Untuk mengetahui pasar mana saja yang dipakai BPS guna mengambil sampel data harga.

"Begitu dia tahu BPS mau masuk, cepat-cepat dia buat gerakan pasar murah di daerah itu, supaya harganya turun. Karena BPS kan mengambil data dalam jumlah masif, pasti menggunakan random sampling. Dia tahu random-nya di mana, sampelnya yang mana," paparnya.

Menindaki kasus ini, Tito memohon kepada BPS untuk ikut mengakalinya. Dengan cara menyiapkan opsi beberapa pasar untuk pengambilan sampel.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Deflasi 5 Bulan Beruntun, Krisis Ekonomi 1999 Bakal Kembali Terulang?

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menjawab kekhawatiran masyarakat terkait potensi pelemahan ekonomi seperti tahun 1999 usai Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024. BPS mencatat, ekonomi Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan deflasi pada periode 1999 terjadi selama tujuh bulan berturut-turut. Dalam catatannya, deflasi terjadi pada Maret hingga September.

"Catatan angka inflasi dari BPS pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut selama bulan Maret 1999 sampai september 1999," kata Amalia di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Di mengungkapkan deflasi pada 1999 terjadi usai menurunnya harga barang secara drastis setelah nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi hebat di tahun 1998. Akibatnya, harga barang terjun bebas seiring dengan pulihnya keseimbangan pasar.

"Pada saat itu setelah diterpa inflasi yang tinggi sempat waktu itu kan ada inflasi tinggi karena terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah, tetapi kemudian tekanan depresiasi yang menurun otomatis harga-harga juga kembali kepada mulai kembali kepada keseimbangannya, nah ini yang menyebabkan deflasi," ucap dia.

Dalam catatannya, deflasi secara berturut-turut pernah terjadi dalam kurun Waktu 2008 sampai 2009. Secara spesifik deflasi terjadi pada Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 akibat anjloknya harga minyak dunia.

"Di tahun 2020 juga pernah terjadi deflasi 3 bulan berturut-turut sejak Juli sampai dengan September 2020," ucap Amalia.

Terkait dengan deflasi selama lima bulan pada 2024. Hal ini disebabkan oleh komoditas pangan, khususnya holtikultura yang mengalami kelebihan pasokan atau over supply.

"Penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan hortikultura yang memberikan andil ya karena supply, nah ini tentunya harga bisa turun karena biaya produksi turun, karena biaya produksi turun, tentunya ini akan dicerminkan pada harga di tingkat konsumen ikut turun," bebernya.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

3 dari 3 halaman

Deflasi Beruntun

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik ( BPS) melaporkan perekonomian Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm) pada September 2024.

Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahunan sebesar 1,84 persen secara year on year (yoy). Sedangkan secara tahun kalender ataupun year to date (ytd) terjadi inflasi sebesar 0,74 persen.

"Pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Amalia bilang, deflasi pada September 2024 merupakan capaian selama lima bulan berturut-turut. Bahkan, deflasi pada September 2024 lebih dalam dibandingkan Agustus 2024.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini