Liputan6.com, Jakarta Berbagai pihak menyatakan ketidakpuasan atas perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Aturan ini dinilai tidak mengakomodir masukan dari para pemangku kepentingan terkait terutama di sektor tembakau.
Baca Juga
Pengamat Hukum Ali Rido menuturkan bahwa seharusnya PP pengamanan zat adiktif harus dipisah dari substansi aturan pelaksanaan yang lain. Hal ini dikarenakan, frasa delegasi dalam Pasal 152 UU Kesehatan No. 17/2023 menggunakan frasa ketentuan lebih lanjur “diatur dengan” PP, bukan “diatur dalam” PP.
Advertisement
“Berlandaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012-016-019/PUU-IV/2006, frasa "diatur dengan peraturan perundang-undangan" berarti harus diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Lahirnya PP No. 28/2024 sebagai aturan tunggal pelaksanaan UU Kesehatan, merupakan bentuk ketidakpatuhan konstitusional,” tegas Ali Rido dalam
Dari segi materiil/substansi, sejumlah baik PP Kesehatan dan RPMK juga menyisakan permasalahan. Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusional ini memaparkan, aturan yang melarang penjualan produk rokok secara eceran perbatang, cenderung multitafsir dan sulit implementasinya. Hal yang sama, telihat pada larangan jualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
“Konteks ini, menjadi problematik jika dihadapkan pada kasus toko/warung yang eksisting lebih dulu ketimbang satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Idealnya, pemberlakuan pasal ini tidak boleh retroaktif melainkan futuristik. Namun absennya penjelasan keberlakuannya, akan menjadi pasal karet yang kontradiktif dengan asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12/2011,”ujar Ali.
Iklan Rokok
Begitu juga dengan larangan dan pengendalian iklan rokok yang diatur dalam PP No.28 Tahun 2024 dan turunannya dalam RPMK, mengabaikan IHT sebagai industri legal sehingga berhak menggunakan sarana iklan apapun yang tersedia dan tidak dapat dilarang untuk diiklankan, walaupun dengan syarat-syarat tertentu.
“Konstitusionalitas tersebut, terekspos jelas antara lain dalam Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013. Pengaturan iklan dan promosi yang dituangkan dalam jenis PP, juga tidak koheren dengan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017 yang menegaskan pengaturan promosi dan iklan rokok menjadi wilayah pembentuk undang-undang. Artinya, jenis aturan berupa PP No. 28/2024 tidak seharusnya mengatur iklan dan promosi secara berlebihan karena itu domain legislatif (DPR) melalui undang-undang,”jelasnya.
Ia pun menyayangkan bahwa seluruh elemen ekosistem pertembakauan yang terdampak dalam PP Kesehatan dan RPMK ini sejak awal tidak dilibatkan. Padahal Putusan MK No 91 tahun 2020 bahwa proses peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi masyarakat (meaningfull participation).
Advertisement
Kebijakan Kemasan Polos
RPMK juga mewajibkan implementasi standardisasi kemasan atau dikenal dengan kebijakan polos dimana seluruh kemasan produk tembakau maupun elektronik akan diseragamkan menjadi warna 448 Pantone C. Penulisan merek dan varian Produk Tembakau menggunakan Bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 8 mm, berwarna hitam dan diletakkan di bagian tengah permukaan depan dan belakang kemasan.
Selain itu kewajiban standarisasi kemasan juga mengharuskan penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 4 mm, berwarna hitam dan diletakkan di bagian sisi kiri kemasan; dan/atau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam rancangan peraturan Menteri tersebut.
“Padahal Pasal 437 PP 28 Tahun 2024 hanya mengamanahkan pemberlakuan standardisasi kemasan terkait peringatan kesehatan kepada Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara,” ucap Ali yang membacakan kutipan pasal pada RPMK dan PP 28 Tahun 2024, yang mendorong kemasan rokok polos tanpa merek.