Liputan6.com, Jakarta Peneliti CORE Indonesia, M Andri Perdana mengungkapkan salah satu penyebab terjadinya penurunan jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia.
Menurut Andri, fenomena itu terjadi karena banyaknya jumlah tenaga kerja yang beralih ke sektor jasa dengan nilai tambah yang rendah.
"Semakin banyak tenaga kerja kita yang sudah beralih ke sektor jasa dengan nilai tambah yang rendah, karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan di sektor sekunder. Maka dalam jangka panjang tingkat pendapatan itu akan semakin menurun," ungkap Andri dalam diskusi Evaluasi 10 Tahun Sektor Industri Era Jokowi yang disiarkan pada Selasa (1/10/2024).
Advertisement
Andri lebih lanjut mengatakan, untuk menjadi negara maju, pada umumnya sektor sekunder, yang meliputi meliputi sektor bangunan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih menjadi pendorong munculnya kelas menengah baru.
"Karena memang dalam perkembangan di suatu negara berkembang umumnya adalah sektor industri yang menopang lahirnya kelas menengah baru yang dari sebelumnya berada di sektor primer. Namun karena trennya yang justru menunjukkan deindustrialisasi dini, orang-orang beralih dari agraris langsung ke sektor jasa, namun sektor jasanya tidak memiliki nilai tambah yang mumpuni," bebernya.
Dijelaskannya, syarat dari sektor jasa untuk memiliki nilai tambah tinggi harus didukung dengan sektor sekunder yang mumpuni dan tidak terbatas.
"Karena dari manufaktur-manufaktur inilah bisa banyak turunan (sektor) jasa-jasa yang nantinya mayoritas dari masyarakat kita ketika sudah maju berada di sektor tersebut," sambungnya.
"Tingkat pekerjaannya hanya sedikit, karena tentu semakin banyak adanya otomatisasi, semakin banyak adanya efisiensi terhadap manufaktur. (Padahal) tingkat produktivitas yang tinggi dalam manufaktur inilah yang akan menopang masyarakat untuk bisa berada di sektor jasa dengan pendapatan yang tinggi. Itulah yang terjadi dalam perkembangan selama satu dekade terakhir," imbuh Andri.
Jurus Rahasia Prabowo Gapai Pertumbuhan Ekonomi 8%
Pemerintahan Prabowo-Gibran akan mendorong hilirisasi nikel berkelanjutan sebagai upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Ini karena Indonesia merupakan produsen terbesar sekaligus pemilik cadangan utama nikel dunia.
Wakil Ketua Tim TKN Prabowo-Gibran yang juga Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno mengungkapkan, dari total 130 juta ton cadangan nikel dunia, sebanyak 55 juta ton atau setara 42 persennya tersimpan di Indonesia. Secara perhitungan ekonomi, ekspor nikel pada 2023, Indonesia mendapat Rp 106,59 triliun.
“Hilirisasi nikel secara berkelanjutan jadi salah satu fokus utama mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Tantangannya, bagaimana memastikan pemerintah Indonesia ke depannya melaksanakan hilirisasi nikel secara berkelanjutan,” ucap Eddy Soeparno dalam keterangan tertulis, Senin (30/9/2024).
Advertisement
Larangan Ekspor Nikel
Seiring dengan larangan ekspor nikel mentah sejak 1 Januari 2020, industri pengolahan hasil tambang atau smelter nikel bermunculan di Indonesia. Tim Prabowo-Gibran juga mengklaim bahwa peningkatan kapasitas smelter berdampak signifikan bagi peningkatan produksi dan pasokan nikel Indonesia di pasar global.
Pada 2023, pasokan nikel Indonesia membanjiri 55 persen pasokan global dan diperkirakan naik menjadi 64 persen sepanjang 2024. Berdasarkan riset Katadata Insight Center, dalam 5-10 tahun ke depan, pasokan nikel dari Indonesia diperkirakan akan terus meningkat dan mendominasi. Menurut
Menurut Eddy, hilirisasi mineral, terutama nikel, bukan hanya strategis untuk meningkatkan nilai tambah, melainkan juga menjadi motor penggerak transisi energi melalui ekosistem kendaraan listrik.
“Indonesia berpotensi besar untuk memimpin pasar global hilirisasi nikel, termasuk baterai untuk kendaraan listrik. Ini sejalan dengan kebutuhan dunia terhadap kendaraan listrik,” ucap Eddy.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan dalam memastikan proses hilirisasi nikel dan transisi energi agar tidak hanya fokus pada aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, Governance). Terutama dalam hal penggunaan energi yang ramah lingkungan, seperti pengurangan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara.