Liputan6.com, Jakarta - Beberapa anak muda atau lebih tepatnya generasi Z dan milenial lebih memilih menghabiskan uang untuk barang-barang mewah. Mereka suka membeli baju dari desainer terkenal dan jalan-jalan ke luar negeri. Menghabiskan uang ini lebih diutamakan dibandingkan menabung.
Menurut Psychology Today, tren ini disebut dengan "doom spending", istilah merujuk pada kebiasaan berbelanja tanpa berpikir untuk mengatasi perasaan pesimistis tentang ekonomi dan masa depan mereka.
Baca Juga
Dosen senior di bidang keuangan di King's Business School, Ylva Baeckström, menjelaskan bahwa praktik ini tidak sehat dan fatalistik. Dia mengatakan anak muda lebih terhubung secara online dan terus-menerus terpapar berita buruk, yang mempengaruhi perasaan mereka dan mendorong kebiasaan belanja buruk.
Advertisement
"Dalam sebuah survei pada November 2023 oleh Intuit Credit Karma, 96% orang Amerika khawatir tentang kondisi ekonomi, dan lebih dari seperempat dari mereka terlibat dalam doom spending untuk mengatasi stres," kata dia dikutip dari CNBC, Sabtu (5/10/2024).
Tidak hanya di Amerika, fenomena ini juga terjadi di berbagai negara. Seorang publicist, Stefania Troncoso Fernández mengakui bahwa dia adalah seorang doom spender yang telah pulih. Namun, tingginya inflasi dan ketidakpastian politik membuatnya sulit untuk menabung secara rasional.
“Saya tahu bahwa harga makanan terus naik setiap hari, kita tidak bisa makan seperti setahun lalu karena semuanya semakin mahal,” ujarnya.
Seorang pendiri startup berusia 25 tahun, Daivik Goel mengaku pernah terjebak dalam doom spending saat bekerja di sebuah startup bioteknologi. Kebiasaan ini muncul karena ketidakpuasan dengan pekerjaannya dan tekanan sosial dari teman-temannya. “Ini semua tentang perasaan ingin melarikan diri,” ujarnya.
Cara Mengatasi
Goel dulu sering menghabiskan uang untuk pakaian desainer, teknologi terbaru, dan minum di luar. Ia menyebut bahwa doom spending sangat umum terjadi di Silicon Valley, di mana banyak orang lebih memilih membeli barang-barang mewah daripada menabung untuk rumah, karena harga properti yang sangat mahal.
Namun, sejak mendirikan perusahaan fintech-nya, kebiasaan doom spending-nya hilang karena ia menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya.
"Pola pikirku sepenuhnya berubah," katanya.
Untuk mengatasi kebiasaan ini, Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan kita dengan uang. Seperti hubungan dengan orang lain, hubungan dengan uang terbentuk sejak kecil.
“Jika kamu merasa aman dengan uang, kamu bisa membuat keputusan yang masuk akal. Tapi jika kamu merasa tidak aman, kamu lebih mungkin terjebak dalam perilaku pengeluaran yang buruk," jelasnya.
Fernández juga mengatakan bahwa sebagian dari alasan ia melakukan doom spending adalah karena kurangnya literasi keuangan.
"Ayah saya tumbuh dalam kemiskinan dan tidak ada yang mendorongnya untuk menabung," ujarnya.
Advertisement
Meningkatkan Kesadaran saat Berbelanja
Salah satu pendiri platform pembangunan kekayaan Belong, Samantha Rosenberg, menyarankan untuk membuat proses belanja lebih sulit agar kita berpikir dua kali sebelum membeli. Ia menjelaskan bahwa belanja online memudahkan pengeluaran impulsif, sementara melihat barang secara langsung bisa mencegahnya.
“Poin pengambilan keputusan tambahan, seperti pergi ke toko, mengevaluasi barang, dan mengantre, bisa membuat kita lebih kritis tentang pembelian kita,” kata Rosenberg.
Rosenberg juga merekomendasikan untuk kembali menggunakan uang tunai, karena metode pembayaran yang cepat seperti Apple Pay membuat kita lebih mudah menghabiskan uang tanpa berpikir panjang.
“Mereka menghilangkan rasa sakit saat menyerahkan uang,” tambahnya. Rosenberg menyarankan agar kita meningkatkan “rasa sakit saat membayar” untuk mengurangi pembelanjaan impulsif.