Sukses

Menko Airlangga Bakal Luncurkan Portal Aksesi OECD, Apa Manfaatnya?

Sekjen Mathias Cormann menjelaskan bergabungnya Indonesia turut meningkatkan nilai strategis bagi OECD.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian akan meluncurkan portal Aksesi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Peluncuran pun akan dilakukan langsung oleh Ketua Pelaksana Tim Nasional OECD, Menko Airlangga. Dilansir dari laman Kemenko Perekonomian, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berstatus sebagai negara aksesi OECD, pasca disetujuinya Peta Jalan Aksesi Indonesia yang secara resmi diserahterimakan dalam Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) OECD pada 2-3 Mei 2024 lalu. Saat ini, terdapat 7 negara aksesi OECD yaitu Argentina, Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kroasia, Peru, dan Rumania.

Setelah PTM OECD, Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann berkunjung ke Indonesia pada 28-29 Mei 2024 kemarin. Dalam kunjungan itu, Sekjen OECD melakukan pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo, Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto, DPR RI, Tim Nasional OECD, hingga pemangku kepentingan terkait seperti organisasi buruh, masyarakat sipil, perwakilan dunia usaha, akademisi, dan lain-lain.

Sekjen Cormann menjelaskan bergabungnya Indonesia turut meningkatkan nilai strategis bagi OECD. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar dan satu-satunya anggota G20 di kawasan Asia Tenggara, tidak dapat dipungkiri jika Indonesia merupakan aktor signifikan dalam pemerintahan global.

Sebelumnya Airlangga mengatakan, aksesi OECD ini juga penting untuk mengawal proses Indonesia lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (midle income trap) dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Selain itu, masuknya Indonesia menjadi anggota Organisation for Economic Co-opeartion and Development (OECD) dapat menjadi salah satu dorong untuk menjadi negara maju.

2 dari 4 halaman

Sri Mulyani dan Bos OECD Tandatangani Subject to Tax Rule, Apa Manfaatnya Buat Indonesia?

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Secretary-General of The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Mathias Cormann melakukan penandatanganan Instrumen Multilateral Subject to Tax Rule (MLI STTR). Penandatangan ini dilakukan pada 19 September 2024.

Subject to Tax Rule ini merupakan ketentuan yang diterapkan dengan basis perjanjian atas pembayaran intragrup seperti bunga, royalti, dan pembayaran tertentu lainnya termasuk jasa. Dengan penandatanganan ini, negara berkembang seperti Indonesia bisa mengeksekusi topup tax atau pungutan selisih tarif Pajak Penghasilan (PPh).

“This is truly an important agreement reflects the fact that the STTR has been a key priority for many developing countries, as we heard from our previous speaker, of the Inclusive Framework on BEPS,” ujar Sri Mulyani dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (21/9/2024).

Melalui penandatanganan tersebut, Indonesia turut menunjukkan komitmen dalam upaya peningkatan kerja sama perpajakan internasional.

Penerapan Instrumen Multilateral Subject to Tax Rule dilatarbelakangi oleh penggerusan basis pajak dan pengalihan laba yang saat ini merupakan masalah global.

Untuk itu, Indonesia bersama dengan lebih dari 140 negara dan yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (IF) menyepakati ketentuan penerapan Subject to Tax Rule.

Dalam ketentuan Subject to Tax Rule, pembayaran intragrup harus dikenakan pajak dengan tarif minimum sebesar 9% di negara atau yurisdiksi penerima pembayaran menjadi residen. Dalam hal tarif yang dikenakan kurang dari 9%, negara sumber dapat mengenakan pajak tambahan.

Pengenaan pajak tambahan Subject to Tax Rule dilakukan setelah berakhirnya tahun pajak pembayaran dilakukan. Hal ini mengingat terdapat materiality treshold yang harus dipenuhi agar pembayaran tersebut berada dalam cakupan Subject to Tax Rule.

 

3 dari 4 halaman

Dampak ke Indonesia

Bagi Indonesia, penandatanganan perjanjian Subject to Tax Rule berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Dalam hal pembayaran tertentu yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak dengan tarif kurang dari 9% di negara atau yurisdiksi penerima pembayaran menjadi residen, Indonesia dapat mengenakan pajak tambahan.

Selain itu, implementasi Subject to Tax Rule di Indonesia juga dapat menjadi salah satu instrumen untuk melindungi basis pajak dari skema penghindaran atau pengelakan pajak yang agresif.

Subject to Tax Rule akan memperkuat ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang ada saat ini.

Subject to Tax Rule  juga akan mengamandemen ketentuan P3B yang mengatur mengenai pemajakan atas pembayaran yang tercakup dalam Subject to Tax Rule tanpa harus melalui negosiasi secara bilateral, yang umumnya memerlukan waktu yang lama.

Untuk dapat berlaku efektif secara domestik, setelah proses penandatanganan, MLI Subject to Tax Rule harus diratifikasi terlebih dahulu melalui penerbitan Peraturan Presiden.

 

4 dari 4 halaman

Definisi Subject to Tax Rule

Subject to Tax Rule (STTR) adalah aturan dalam perpajakan internasional yang dirancang untuk memastikan bahwa pendapatan tertentu yang dihasilkan dari transaksi lintas batas dikenakan pajak minimum di negara sumber pendapatan. Secara spesifik, STTR memastikan bahwa negara tempat pendapatan tersebut dihasilkan memiliki hak untuk mengenakan pajak jika pendapatan tersebut dikenakan pajak terlalu rendah atau bahkan tidak dikenakan pajak sama sekali di negara asal penerima pendapatan.

STTR sering digunakan dalam konteks penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Banyak perusahaan besar mengalihkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak rendah (tax havens) untuk mengurangi beban pajak. Dengan adanya STTR, pendapatan yang biasanya "dipindahkan" ke negara-negara ini tetap akan dikenakan pajak di negara asal pendapatan, jika tarif pajaknya di bawah ambang batas tertentu.

Singkatnya, STTR bertujuan untuk menutup celah yang memungkinkan perusahaan multinasional menghindari pajak dengan mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi dengan pajak rendah. Aturan ini adalah bagian dari inisiatif global untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, khususnya bagi negara-negara berkembang yang sering kehilangan potensi penerimaan pajak dari kegiatan perusahaan multinasional di wilayah mereka.