Sukses

Subsidi BBM Jadi Beban Prabowo-Gibran, Negara Boncos Rp 120 Triliun

Penataan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran akan dilakukan mulai 1 Oktober 2024. Namun, pelaksanaannya tertunda

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa pembatasan BBM bersubsidi perlu segera diterapkan. Menurutnya, penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran menyebabkan negara mengeluarkan dana berlebih hingga Rp120 triliun per tahun.

Rencananya, penataan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran akan dilakukan mulai 1 Oktober 2024. Namun, pelaksanaannya tertunda karena pemerintah masih melakukan kajian lebih lanjut.

"Menurut saya, kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sudah sangat mendesak untuk segera diterapkan," kata Fahmy kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2024).

Fahmy menjelaskan bahwa BBM bersubsidi banyak dikonsumsi oleh golongan yang dinilai tidak berhak, dan secara nominal jumlahnya sangat besar.

Berdasarkan perhitungannya, negara menanggung kelebihan penyaluran BBM subsidi sebesar Rp90 triliun pada tahun lalu, dan angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi Rp120 triliun pada tahun ini.

"Subsidi BBM yang salah sasaran sudah mencapai jumlah yang sangat besar, sekitar Rp120 triliun. Jika tidak ada pembatasan, maka APBN akan terus menanggung beban ini," ujarnya.

Jadi PR Prabowo

Fahmy menilai bahwa beban subsidi yang besar ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, terutama dengan adanya sejumlah program prioritas yang akan digenjot oleh Prabowo-Gibran.

"Ini akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo dan bahkan dapat mengurangi alokasi dana APBN untuk program-program strategis yang mereka canangkan," jelasnya.

 

2 dari 2 halaman

Jokowi Terlalu Khawatir

Lebih lanjut, Fahmy mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak menahan penerapan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, meskipun rencana tersebut sudah diumumkan akan dimulai pada 1 Oktober 2024.

"Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyatakan bahwa pembatasan akan diberlakukan mulai 1 Oktober, namun hingga sekarang belum terlaksana, dan beberapa kali dibantah oleh Jokowi. Ini menunjukkan bahwa Jokowi memang tidak menghendaki kebijakan pembatasan tersebut," katanya.

Fahmy menduga bahwa Jokowi khawatir pembatasan konsumsi BBM subsidi dapat memicu kenaikan harga dan inflasi, yang pada gilirannya akan berdampak pada daya beli masyarakat. Namun, Fahmy menilai kekhawatiran ini terlalu berlebihan.

"Jokowi sangat khawatir bahwa pembatasan ini akan berdampak langsung pada kenaikan harga BBM, yang dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua harga akan naik," jelas Fahmy.