Sukses

Jokowi Disebut Ragu Putuskan Pembatasan BBM Subsidi

Pengamat menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih ragu untuk menetapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih ragu untuk menetapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini terlihat dari revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang belum juga rampung.

Revisi peraturan tersebut telah dibahas selama beberapa tahun dan mencakup kriteria jenis kendaraan yang diizinkan menggunakan BBM subsidi, seperti Biosolar dan Pertalite.

"Pada awalnya, alasan mengapa Perpres 191 belum segera direvisi adalah karena Jokowi bimbang dan ragu," kata Fahmy kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2024).

Fahmy mengatakan bahwa keputusan final seharusnya sudah bisa diambil oleh Jokowi sebagai Kepala Negara, mengingat PT Pertamina (Persero) sebagai penyalur BBM subsidi sudah melakukan sejumlah uji coba.

Namun, keraguan Jokowi dianggap menjadi salah satu faktor mengapa pembatasan BBM subsidi belum juga diterapkan.

"Jika Jokowi memutuskan 'oke jalan pembatasan', kriteria sudah ditentukan dan Pertamina sudah berhasil melakukan uji coba menggunakan MyPertamina dan QR code untuk Solar," jelas Fahmy.

"Uji coba untuk Pertalite juga sudah bisa dilakukan. Kriterianya harus masuk dalam revisi Perpres 191 jika pembatasan ingin diterapkan," tambahnya.

Dugaan Keinginan Jokowi

Fahmy menegaskan bahwa keputusan final ada di tangan Jokowi. Ia menduga bahwa Jokowi sebenarnya tidak ingin menerapkan pembatasan BBM subsidi.

"Sejujurnya, ini adalah keputusan yang mudah. Namun, semua tergantung pada political will Jokowi. Jika Jokowi tidak menghendaki, revisi Perpres tidak akan terjadi," pungkas Fahmy.

 

2 dari 3 halaman

Pembatasan BBM Subsidi Mendesak Diterapkan

Sebelumnya, Fahmy Radhi juga menilai bahwa pembatasan BBM bersubsidi sangat mendesak untuk diterapkan. Pasalnya, penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran membuat negara mengeluarkan dana berlebih hingga Rp120 triliun per tahun.

Penataan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran rencananya akan dimulai pada 1 Oktober 2024. Namun, hingga kini, rencana tersebut belum diterapkan karena pemerintah masih melakukan kajian.

"Kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sangat mendesak untuk segera diterapkan," ujar Fahmy.

Ia menjelaskan bahwa BBM bersubsidi banyak dikonsumsi oleh golongan yang tidak berhak, sehingga menyebabkan kerugian besar bagi negara. Berdasarkan perhitungan, negara menanggung kelebihan penyaluran BBM subsidi senilai Rp90 triliun pada tahun lalu, dan angka ini diprediksi meningkat menjadi Rp120 triliun tahun ini.

"BBM subsidi yang salah sasaran ini jumlahnya sangat besar, mencapai sekitar Rp120 triliun. Jika tidak ada pembatasan, APBN kita akan terus menanggung beban tersebut," tegasnya.

Angka tersebut bisa menjadi beban berat bagi pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, terutama dengan adanya program-program prioritas yang akan dijalankan oleh Prabowo-Gibran.

"Ini akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo dan dapat mengurangi alokasi dana APBN untuk program-program strategisnya," tambah Fahmy.

 

3 dari 3 halaman

Jokowi Terlalu Khawatir

Fahmy juga menilai bahwa Jokowi terlalu khawatir untuk menerapkan pembatasan BBM subsidi. Rencana pembatasan yang awalnya dijadwalkan pada 1 Oktober 2024 belum terealisasi hingga saat ini.

"Menteri ESDM, Bahlil, sebelumnya menyatakan bahwa pembatasan akan diberlakukan pada 1 Oktober, tetapi kenyataannya sampai sekarang belum terlaksana, dan beberapa kali Jokowi membantahnya. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak menghendaki kebijakan pembatasan tersebut," jelas Fahmy.

Menurut Fahmy, Jokowi khawatir bahwa pembatasan BBM subsidi akan memicu kenaikan harga dan inflasi, yang pada akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Namun, Fahmy menilai kekhawatiran ini berlebihan.

"Jokowi sangat khawatir bahwa pembatasan ini akan langsung berdampak pada kenaikan harga BBM, yang dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua harga akan naik," pungkas Fahmy.