Liputan6.com, Jakarta - Pinjaman dana ke perusahaan pembiayaan disebut-sebut mengalami peningkatan imbas dari daya beli masyarakat yang menurun. Namun, tren kenaikan pinjaman ini justru mengarah pada belanja konsumtif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat adanya tren tersebut ditengah kondisi daya beli masyarakat yang cenderung stagnan dan dikhawatirkan menurun. Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi khawatir pinjaman yang diambil malah akan memberatkan masyarakat.
Baca Juga
"Lagi banyak orang susah gini Ini pinjaman-pinjaman makin diminati gitu, karena mungkin ya solusi jangka pendek ya. Ternyata padahal sebenarnya orang kalau belum tahu kapan dia punya penghasilan kan nanti malah utangnya menggulung. Itu sih yang kita khawatir," kata Friderica, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (5/10/2024).
Advertisement
Dia masih perlu memastikan angka kenaikan jumlah pinjaman tersebut. Namun, fenomena yang ditemuinya menunjukkan pinjaman kebanyakan digunakan untuk tujuan konsumtif.
"Kalau lihat di data P2P itu yang meningkat adalah pinjaman untuk yang konsumtif, bukan yang produktif, padahal kita kan dorong supaya dia bisa masuknya produktif gitu," ucapnya.
Friderica khawatir, ketika penggunaan dana pinjaman untuk konsumtif, artinya belum bisa dipastikan pembayaran dana tersebut. Pada akhirnya, masyarakat yang meminjam dana tadi malah tergulung oleh utang yang diambilnya.
"Nah itu kita harus cermati supaya masyarakat ini enggak makin tergulung gitu loh Kalau mereka udah susah, enggak punya penghasilan malah mereka ngajuin pinjaman. Kalau pinjaman sama saudara kan kalau nggak bayar paling diomel-omelin ya kalau yang kayak gini kan bahayanya seperti itu," bebernya.
Cari Solusi
Lebih lanjut, Friderica menyampaikan ada solusi yang bisa ditempuh oleh nasabah yang meminjam dana. Misalnya mengajukan restrukturisasi atas pinjamannya.
Namun, skema ini hanya bisa berlaku jika masyarakat mengakses pinjaman ke lembaga yang legal dan terdaftar di OJK.
"Kalau dia legal ajukan aja untuk minta restrukturisasi. Misalnya keringanan bayar bunganya enggak dulu, misalnya atau bayar cicilan pokoknya dulu. Silahkan aja, itu keputusan antara konsumen sama penyelenggaranya, jadi kalau disetujuin juga nggak apa-apa," urainya.
Hanya saja, skema itu tidak bisa berlaku bagi pinjaman online atau pinjol ilegal. Pada kasus ini, masyarakat yang diminta lebih berhati-hati dalam mengakses bantuan dana pinjaman.Â
"Tapi yang hari ini ilegal ya, kalau ilegal ini kan mereka cara nagihnya sadis gitu terus kemudian dengan mempermalukan, kayak gitu itu banyak sekali cerita-cerita kayak gitu. Jadi memang masyarakat harus turut kita edukasi," pungkasnya.
Advertisement
OJK: Penyaluran Kredit Sentuh Rp 7.507 Triliun hingga Agustus 2024
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mencatat, hingga Agustus 2024, pertumbuhan kredit masih melanjutkan catatan double digit growth sebesar 11,40 persen yoy dengan nilai Rp7.507,7 triliun.
Berdasarkan jenis penggunaan, Kredit Investasi tumbuh tertinggi yaitu sebesar 13,08 persen, diikuti oleh Kredit Konsumsi 10,83 persen, sedangkan Kredit Modal Kerja 10,75 persen.
"Ditinjau dari kepemilikan bank, bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit yaitu sebesar 13,13 persen yoy," kata Dian dalam konferensi Pers RDKB September 2024, Selasa (1/10/2024).
Sementara itu, berdasarkan kategori debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 16,51 persen, disisi lain kredit UMKM juga tetap tumbuh meskipun lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu sebesar 4,42 persen.
Dian juga menyampaikan, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tercatat tumbuh sebesar 7,01 persen yoy dengan nilai Rp8.650 triliun, dengan giro, tabungan, dan depositomasing-masing tumbuh sebesar 10,06 persen, 6,14 persen, dan 5,37 persen yoy.
Likuiditas industri perbankan pada Agustus 2024 juga dinilai tetap memadai meskipun termoderasi, dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 112,92 persen dan 25,37 persen, dan masih di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Untuk kualitas kredit juga tetap terjaga dengan rasio NPL gross perbankan sedikit turun ke level 2,26 persen dan NPL net sebesar 0,78 persen. Loan at Risk (LaR) juga menunjukkan tren penurunan menjadi sebesar 10,17 persen. Rasio LaR tersebut juga mendekati level sebelum pandemi yaitu sebesar 9,93 persen pada Desember 2019.