Sukses

Cukai Rokok 2025 Tak Naik, Serikat Pekerja Bilang Begini

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman

Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Timur.

Langkah ini dinilai penting dalam menjaga keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) di tengah berbagai tantangan berat yang dihadapi.

Ketua Pengurus Daerah FSP RTMM-SPSI Jawa Timur, Purnomo, memberikan tanggapan terkait keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif CHT 2025.

“Kita sangat mengapresiasi keputusan pemerintah ini karena sudah sepatutnya kenaikan cukai rokok tahun 2025 itu tidak ada. Keputusan ini penting untuk menjaga keberlangsungan IHT dan melindungi lapangan kerja yang ada,” terangnya.

Saat ini, kami masih menunggu peraturan resmi CHT 2025 diterbitkan oleh pemerintah agar terdapat kepastian. “Keputusan pemerintah ini juga sejalan dengan rekomendasi dari Bupati dan Walikota se-Jawa Timur yang meminta agar tidak ada kenaikan cukai CHT dengan mempertimbangkan kelangsungan lapangan kerja di IHT,” kata Purnomo.

Kenaikan Cukai

Namun, Purnomo juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kemungkinan adanya kenaikan cukai yang drastis pada tahun 2026. Ia menegaskan bahwa pemerintah kerap mengeluarkan aturan yang memberatkan IHT sehingga dapat berdampak negatif bagi pekerja.

“Kebijakan dan aturan Pemerintah sering memberatkan IHT dan dampaknya itu langsung ke pekerja,” ucapnya.

Tidak hanya kenaikan cukai rokok, aturan lain seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) juga sangat menyudutkan IHT. Oleh karena itu, Purnomo mendorong dilakukannya revisi PP Kesehatan yang mengatur larangan zonasi penjualan dan larangan pembatasan iklan rokok.

 

 

2 dari 4 halaman

Rancangan Kemasan Rokok Polos Minta Dibatalkan

Tak hanya itu, pihaknya juga meminta pembatalan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang akan mengatur kemasan rokok polos tanpa merek. Kedua aturan itu dianggap sangat berdampak negatif bagi keberlangsungan mata pencaharian pekerja.

“Pemerintah harus merevisi PP 28/2024 dan membatalkan Rancangan Permenkes karena berdampak buruk sekali bagi para pekerja yang menggantungkan nasibnya di industri tembakau,” tegasnya.

Purnomo melanjutkan pihaknya berharap suara dari para pekerja akan didengar dan diambil sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang lebih baik di masa depan. “Rekomendasi dari Bupati dan Walikota se-Jawa Timur kepada Presiden Jokowi untuk tidak menaikkan tarif CHT mencerminkan kepedulian terhadap IHT yang vital di daerah ini,” terangnya.

Desakan anggota FSP RTMM-SPSI Jawa Timur ini menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan keberlangsungan industri tembakau dan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. “Dengan dukungan pemerintah daerah, diharapkan upaya ini dapat mendorong kebijakan yang seimbang antara kesehatan masyarakat dan aspek-aspek lainnya, termasuk ekonomi dan sosial,” tutupnya.

3 dari 4 halaman

Cukai Rokok Tak Naik di 2025, Ini Dampaknya Bagi Industri Tembakau

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2025 mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom, salah satunya adalah Chandra Fajri Ananda.

Ia menilai langkah pemerintah ini patut diapresiasi karena memberikan ruang lebih bagi industri tembakau untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.

Prof. Chandra mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT.

"Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan," ujarnya.

Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.

Di sisi lain, dia menghimbau bahwa tidak adanya kenaikan CHT pada 2025 jangan sampai diikuti oleh kenaikan tarif cukai yang drastis pada 2026.

“Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat,” tegasnya.

Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan Cukai Hasil Tembakau.

“PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha," ucapnya.

 

 

4 dari 4 halaman

Aturan Kemasan Rokok Polos

Di sisi lain, adanya rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang menimbulkan polemik dan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak di industri tembakau juga menjadi sorotan Prof. Chandra. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya.

"Kemasan (rokok polos) tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa tanpa identitas merek yang jelas, konsumen akan lebih sulit membedakan antara produk legal dan ilegal, yang dapat merugikan produsen resmi serta mengancam penerimaan negara.

"Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, yang juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK),” jelas Prof. Chandra.