Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah memantau dua rencana kebijakan terkait rokok di era pemerintahan Prabowo Subianto. Yakni soal besaran tarif Harga Jual Eceran (HJE) rokok pada 2025, serta rencana kemasan rokok polos tanpa merek.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani memastikan, cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tidak akan naik pada tahun depan. Sementara untuk harga eceran rokok, pihaknya belum bisa memastikan, sembari menunggu ulasan dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Baca Juga
"Belum, lagi di-review sama BKF. Nanti tergantung sama BKF," ujar Askolani saat ditemui di Grand Sheraton Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Advertisement
Tak hanya soal harga eceran rokok, Bea Cukai juga menanti hasil final wacana kebijakan rokok kemasan polos tanpa merek dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
"Kita sudah kasih masukan ke Kemenkes. Tentunya nanti kita ikutin hasil dari pembahasan," imbuh Askolani.
Dalam konteks ini, Askolani turut mengingatkan potensi risiko yang muncul dari kebijakan tersebut terhadap efektivitas pengawasan. "Supaya kemudian tidak disalahgunakan dalam packaging-nya. Itu intinya," ia menambahkan.
Pernyataan ini jadi penegasan, di mana Askolani sebelumnya menilai penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan. Terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.
"Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," kata Askolani beberapa waktu lalu.
Menurut dia, eksekusi aturan itu dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat, dimana selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Kemenkeu Beri Masukan
Askolani menjelaskan, pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat.
"Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," ia menambahkan.
Meskipun demikian, ia memastikan, Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini. Termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran.
"Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," ujar dia.
Askolani tak memungkiri bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.
"Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini," tuturnya.
Advertisement
Curhat Petani Tembakau, Tertekan Imbas Rancangan Aturan Baru Rokok
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) secara tegas menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024. Diketahui, aturan ini memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek yang ditentang banyak pihak.
APTI menilai ketentuan tentang kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK akan merugikan industri tembakau, termasuk petani, dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang RPMK serta PP 28/2024.
Sekretaris Jenderal APTI, Kusnasi Mudi menyatakan bahwa regulasi ini mengancam mata pencaharian 2,5 juta petani tembakau yang sangat bergantung pada industri tersebut. Menurutnya, ada keterkaitan yang kuat antara sektor hulu dan hilir dalam ekosistem pertembakauan, dan jika sektor hilir ditekan, petani akan terkena dampaknya.
"Jika hilirnya terus ditekan, di hulunya ada petani yang terdampak," ujar dia.
Mudi juga menyoroti usulan pelarangan total iklan produk tembakau dan kemasan polos dalam PP 28/2024 yang dinilai sebagai upaya sistematis untuk menerapkan regulasi mirip dengan negara-negara yang meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control (FCTC).
Dia menegaskan bahwa pengesahan RPMK akan mengancam mata pencaharian petani tembakau. Mudi menilai petani tidak akan tenang bercocok tanam dan mencari nafkah, jika secara terbuka ada upaya sistematis dan masif yang akan segera mengubah aturan pertembakauan Indonesia sehingga menjegal sumber nafkah bagi jutaan masyarakat.
"Mengesahkan RPMK sama saja dengan menjegal petani mencari nafkah,” paparnya.
Kritik Pengusaha Rokok
Sebelumnya, Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi turut mendesak agar pemerintah bisa melihat kritik terhadap Rancangan Permenkes dan beleid PP 28/2024 yang muncul dari kalangan masyarakat sebagai hal penting.
Apalagi, kritik ini semakin mengemuka karena sebelum PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada koordinasi yang baik dengan beberapa kementerian terkait.
Benny pun menegaskan, kendati kalangan pengusaha sepakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pendekatan yang diambil tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja.
“Kita perlu duduk bersama untuk membahas isu ini secara komprehensif,” tambahnya.
Dari sudut pandang industri, beberapa pasal dalam PP ini dinilai perlu direview. Selain itu, Benny juga menyarankan agar proses penyusunan Rancangan Permenkes sebaiknya dihentikan sampai ada pejabat menteri yang baru. Ia berharap Menkes yang baru nantinya akan membuka ruang diskusi yang mengakomodir masukan berbagai pihak, terutama tenaga kerja dan industri terdampak.
Advertisement