Liputan6.com, Jakarta - Presiden Komite Eksekutif (Exco) Partai Buruh, Said Iqbal mengungkapkan daya beli buruh turun dalam 5 tahun terakhir. Litbang partai buruh dan KSPI menunjukkan upah riil buruh turun 30 persen. Dia menuturkan, ini karena upah tidak naik dalam 5 tahun terakhir. Upah riil merupakan upah yang dipengaruhi oleh inflasi.
"Selama 3 tahun terakhir upah kita tidak naik, 2 tahun terakhir memang naik, tetapi di bawah inflasi, otomatis kenaikan upah akan tergerus karena harga barang-barang naik. Contohnya 2024, inflasi 2,8 persen, tetapi kenaikan upah 1,5 persen, maka buruh masih nombok,” kata Said dalam konferdaensi pers secara daring, Kamis (10/10/2024).
Baca Juga
Terkait deflasi berturut dalam 5 bulan, Said menjelaskan ini disebabkan oleh daya beli masyarakat turun. Said menuturkan kelas menengah atas sudah menggunakan tabungan untuk membeli sesuatu, sehingga cenderung hanya membeli kebutuhan pokok.
Advertisement
Sedangkan untuk kelas menengah bawah sudah tidak punya uang untuk beli apapun. Ditambah lagi dengan adanya PHK membuat perputaran uang semakin sedikit sehingga terjadi deflasi.
Said menekankan, penyebab turunnya daya beli adalah upah murah dari omnibus law cipta kerja, meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi, tetapi dengan upah murah atau kenaikan upah masih dibawah inflasi, maka buruh akan tetap nombok.
"Kalau menengah atas sudah mulai berhemat, maka menengah bawah mereka tidak punya uang. Maka dari itu, partai buruh dan serikat buruh lainnya meminta kenaikan upah minimum 8-10 persen pada 2025,” jelasnya.
Said menambahkan perhitungan kenaikan upah minimum 8-10 persen yaitu dilihat dari inflasi 1,2 persen, pertumbuhan ekonomi sebesar 7,7 persen ditambah kenaikan yang masih nombok tahun lalu sebesar 1,3 persen.
"Kenaikan 10 persen untuk daerah yang disparitas upahnya terlalu jauh, sedangkan untuk yang rata-rata di kisaran 8 hingga 9 persen. Kami tidak meminta upah tinggi, tetapi upah yang layak,” pungkasnya.
Deflasi 5 Bulan Beruntun, Apindo Buka Data Daya Beli Masyarakat Turun Sejak Lama
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat adanya penurunan daya beli masyarakat sejak lama. Kondisi tersebut turut sejalan dengan data gang menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah.
Analis Kebijalan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani menyoroti dua hal dalam fenomena deflasi dalam kurun waktu 5 bulan berturut-turut. Pada sisi permintaan (demand) mengalami pelemahan. Pada saat yang sama, pasokan (supply) juga menunjukkan tren serupa.
"Fenomena deflasi ini perlu kita kaji dari 2 sudut pandang ekonomi, yaitu sisi demand (permintaan) dan sisi supply (penawaran), sehingga bisa terlihat kesimpulan yang lebih komprehensif," kata Ajib dalam keterangannya, Senin (7/10/2024).
"Dari sisi demand, indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun," sambung dia.
Dia mengutip data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) yang dirilis pada Agustus 2024. Hasilnya, ada 8,5 juta penduduk Indonesia turun kelas sejak 2018.
"Bahkan Ditjen Pajak juga merilis bahwa pajak kelas menengah terus mengalami penurunan, hanya sekitar 1 persen dari penerimaan pajak secara agregat," ujarnya.
Sementara itu, dari sisi suplai, data ekonominya juga menunjukkan tekanan. Ini terlihat dari data Purchase Managers Index (PMI), yang menggambarkan kondisi bisnis di sektor produksi barang.
Ajib bilang, sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan. Kemudian, sejak Juli 2024 mengalami konstraksi dengan indikator PMI yang turun dibawah 50.
"Daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga," jelasnya.
Advertisement
Target Ekonomi 5 Persen Terancam
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan konsumsi domestik cenderung melambat. Ini terlihat dari besaran inflasi tahunan (year on year) September 2024 sebesar 1,84 persen.
Pada saat yang sama, ada deflasi secara bulanan sebesar 0,12 persen pada September 2024. Angka tersebut mencatatkan deflasi dalam 5 bulan berturut-turut.
Shinta memandang, tingkat inflasi tahunan 1,84 persen tadi menunjukkan adanya konsumsi rumah tangga yang melambat.
"Jelas inflasi 1,84 persen ini mengindikasikan adanya pertumbuhan konsumsi pasar domestik yang sangat sluggish (lamban)," kata Shinta kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).
Menurutnya, kondisi ini bisa mengancam tren pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen. Apalagi, ada target serupa hingga akhir tahun 2024 ini.
"Kalau dibiarkan tingkat inflasi yang terlalu rendah ini dapat menjadi beban bagi pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan di atas 5 persen hingga akhir tahun," ujarnya.
"Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi nasional sangat tergantung pada kinerja konsumsi dalam negeri, bila level konsumsi domestik sedemikian rendah, tentu pertumbuhan akan sulit dipacu," imbuh Shinta.
Di sisi lain, pelaku industri malah akan cenderung menahan aksi korporasinya (wait and see) seperti ekspansi bisnis. Pelaku ushaa industri khawatit ptoduknya tidak bisa diserap oleh pasar dengan tingkat konsumsi yang rendah.
"Karena itu, kami harap pemerintah dapat menciptakan stimulus-stimulus yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pasar," pintanya.
Bagaimana Caranya?
Shinta menjelaskan ada sejumlah cara yang bisa diambil pemerintah untuk meningkatkan konsumsi tadi. Misalnya, dengan melakukan penurunan suku bunga acuan.
Kemudian, bisa melakukan terobosan kebijakan untuk menciptakan produktivitas industri. Termasuk juga untuk memfasilitasi investasi.
"Khususnya dalam hal fasilitasi investasi, peningkatan kinerja ekspor, pemberdayaan UMKM dan upaya mentransformasikan sektor ekonomi informal menjadi sektor ekonomi formal agar pekerja di sektor informal memiliki tingkat produktifitas dan kesejahteraan (daya beli) yang lebih baik sehingga pertumbuhan pasar domestik bisa dipacu agar lebih supportif untuk menciptakan level pertumbuhan yang diinginkan," urainya.
Advertisement