Liputan6.com, Jakarta - Harga emas berpeluang naik pada perdagangan pekan ini. Potensi kenaikan harga emas dinilai akan didorong dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah tetapi dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat dapat bebani harga emas.
Mengutip Kitco, Senin (14/10/2024), berdasarkan survei emas mingguan Kitco menunjukkan hanya sebagian kecil pengamat yang berharap kenaikan harga emas. Sedangkan mayoritas investor optimistis terhadap harga emas meski harga emas terus melemah dalam minggu ketiga berturut-turut.
Baca Juga
Pada pekan ini, 15 analis berpartisipasi dalam survei emas mingguan Kitco, dan hanya sedikit analis yang melihat harga emas naik dalam jangka pendek. Sekitar tujuh analis atau 47 persen berharap harga emas menguat pada pekan ini. Sedangkan dua analis prediksi, harga emas akan merosot. Sedangkan enam analis atau mewakiliki 40 persen cenderung netral dalam jangka pendek.
Advertisement
Sedangkan 157 pelaku pasar ikut dalam polling online Kitco. Mayoritas pelaku pasar di wall street optimistis kenaikan harga emas. 88 pelaku pasar ritel atau 56 persen melihat harga emas akan naik pekan ini. Sedangkan 43 pelaku pasar atau 27 persen melihat harga emas berpotensi melemah. Sedangkan 26 pelaku pasar atau mewakili 17 persen melihat harga emas cenderung sideways.
Direktur Pelaksana Bannockburn Global Forex, Marc Chandler menuturkan, harga emas bertahan di puncak dengan dekati level support USD 2.600.
"Emas melambung ke posisi USD 2.650 setelah producer price index (PPI) AS, tetapi saya pikir itu saja, dan kita dapat melihat pengujian ulang di USD 2.600, dan mungkin area USD 2.580,” kata dia.
Ia menambahkan, ketegangan Timur Tengah juga mendukung pergerakan harga emas. “Tetapi suku bunga yang tinggi dan dolar AS yang menguat dapat bebani harga emas,” kata dia.
Emas sebagai Safe Haven
Hal senada dikatakan analis senior Barchart.com, Darin Newsom. Ia menuturkan, harga emas bakal naik. Hal itu didukung perubahan ekonomi dan politik. Mengingat hal ini, pelaku pasar akan terus beralih ke emas sebagai safe haven.
Di sisi lain, Chief Market Strategis SIA Wealth Management, Colin Cieszynski melihat, harga emas akan netral pekan ini. “Setelah kenaikan besar, harga emas stabil dalam kisaran USD 2.600-USD 2.700,” ujar dia.
Colin menambahkan, pada pekan ini juga tidak ada rapat bank sentral dan data ekonomi yang dijadwalkan sehingga akan sepi bagi emas.
Senior Market Strategist Forex.com, James Stanley menuturkan, harga emas akan naik. Ia mengatakan, selama beberapa minggu terakhir, investor punya banyak alasan untuk merealisasikan keuntungan seiring perpanjangan pergerakan termasuk kenaikan dolar AS dan laporan nonfarm payroll (NFP) dan Consumer Price Index (CPI) yang kuat.
Sedangkan Analis Forexlive.com, Adam Button netral terhadap harga emas, tetapi emas menunjukkan ketahanan yang mengesankan dalam mengatasi dolar AS yang menguat dan kenaikan imbal hasil obligasi.
Ia menuturkan, harga emas mulai melemah pada awal pekan lalu, naik turun. Harga emas cenderung mendatar pekan lalu. Selain itu, Button menuturkan, meski CPI sedikit lebih tinggi dari yang diharapkan, tetapi pelaku pasar tidak bertaruh pada kebangkitan inflasi. “Saya pikir sentimen yang lebih baik untuk emas yakni resesi dan the Fed memangkas suku bunga menjadi satu persen,” ujar dia.
Advertisement
Sepi Data Ekonomi
Ia sangat fokus pada stimulus China dan akan mendapatkan persaingan bagi investor China dalam saham. Ia juga mencatat bank sentral China juga berhenti beli emas beberapa bulan lalu. Ia menunjukkan, emas kini memasuki untuk merealisasikan keuntungan. “Dua hari terakhir ini sungguh mengesankan. Saya melihat melemah pekan ini, dan saya berpikir itu masuk akal,” ujar dia.
Analis Senior Kitco Jim Wyckoff menuturkan, harga emas berpotensi naik pekan ini.”Terus menguat karena faktor secara teknikal tetap bullish dan ketegangan geopolitik tetap tinggi untuk mempertahankan tawaran safe haven di pasar emas,” ujar dia.
Adapun pada pekan ini, kalender ekonomi cenderung sepi. Namun, pasar masih akan mencermati data penjualan ritel AS pada Kamis untuk melihat apakah belanja konsumen tetap tangguh. Peristiwa berita utama lainnya mengenai keputusan kebijakan moneter bank sentral Eropa pada Kamis pekan ini.
Pelaku pasar juga akan memperhatikan survei manufaktur Empire State pada Selasa, klaim pengangguran mingguan AS dan survei manufaktur Philly Fed pada Kamis pekan ini. Selain itu, rilis data pembangunan perumahan dan izin bangunan AS pada Jumat pagi.
Penutupan Harga Emas Pekan Lalu
Sebelumnya, harga emas naik pada perdagangan Jumat, 11 Oktober 2024. Kenaikan harga emas terjadi setelah data inflasi Amerika Serikat (AS) memperkuat prospek penurunan suku bunga pada 2024. Hal itu juga menahan dolar AS di bawah level tertinggi baru-baru ini.
Sementara itu, permintaan safe haven yang berasal dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga mengangkat harga emas batangan.
Harga emas di pasar spot naik 1 persen menjadi USD 2.656,09 per ounce, naik dalam dua sesi berturut-turut. Harga emas berjangka AS menguat 1,3 persen menjadi USD 2.674,40 pada perdagangan Jumat pekan ini. Demikian mengutip dari CNBC.
"Perekonomian masih relatif kuat, dan the Fed masih dalam paradoks di mana mereka mempertimbangkan pemotongan suku bunga karena beberapa sektor telah melambat secara signifikan seperti perumahan,” ujar Senior Market Strategist RJO Futures, Daniel Pavilonis.
Harga produsen AS tidak berubah pada September, menunjukkan prospek inflasi yang masih menguntungkan dan mendukung harapan penurunan suku bunga the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS bulan depan.
"Angka Producer Price Index (PPI) cenderung menguntungkan bagi pasar logam mulia dan menunjukkan the Fed tetap berada di jalur yang tepat untuk pemangkasan suku bunga 25 basis poin tahun ini,” ujar Analis Kitco Metals, Jim Wyckoff.
Hal ini mengikuti data pada perdagangan Kamis pekan ini yang menunjukkan harga konsumen AS naik sedikit lebih tinggi dari yang diharapkan bulan lalu, tetapi kenaikan inflasi AS tahunan adalah yang terkecil dalam 3,5 tahun.
“Emas diperkirakan mencapai USD 3.000 pada 2025 karena ketegangan geopolitik, kekhawatiran inflasi, dan ketidakpastian pemilu,” ujar Pavilonis.
Advertisement