Liputan6.com, Jakarta Dunia membutuhkan lahan hingga 5,4 miliar hektar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, saat ini baru tersedia 5,1 miliar hektar lahan untuk pangan dunia.Hal ini menunjukkan, secara global, masih dibutuhkan 300 juta hektar lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengatakan Indonesia perlu menyiapkan langkah ekstensifikasi, proteksi, serta intensifikasi lahan untuk menjaga ketahanan pangan di seluruh negeri.
Baca Juga
"Jadi ekstensifikasi, proteksi, dan intensifikasi itu tiga instrumen yang harus dilakukan," ujar Arif dalam paparannya di kegiatan Rakornas REPNAS 2024 di Menara Bank Mega, Jakarta, Senin (14/10/2024).
Advertisement
Arif mencontohkan, misal pada komoditas tebu, di mana Pemerintah bisa meningkatkan produktivitas secara drastis ketika lahan berkurang melalui intensifikasi lahan.
Dia berharap, pemerintah pusat bisa melakukan pemetaan hasil tata ruang di berbagai daerah yang memiliki lahan pertanian dan tidak melakukan konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian.
Kemudian dari sisi proteksi, hal ini bergantung pada ketegasan Pemerintah. Ia menilai, masih ada celah pada aturan yang berlaku untuk konversi, salah satunya terkait Kabupaten menyisakan 20% untuk lahan pertanian.
"Jadi seolah-olah kalau sudah punya 40% boleh mengkonversi 20%. Memang ada pasal yang perlu direvisi bahwa ada batas minimum 20% itulah membuat orang yang mempunyai 50-30% dikonversi aja toh batasnya," imbuhnya.
"Padahal mengkonversi 20% itu sesuatu sekali untuk pertanian kita," tutur Arief.
Pemerintah Disebut Tak Mampu Optimalkan Penyerapan Beras Dalam Negeri
Sebelumnya, Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) menggelar konferensi pers, yang memaparkan hasil survei terkait keragaman produksi dan harga beras nasional selama Oktober 2024.
Survei Pataka melibatkan total 870 petani, 115 pengepul, 56 penggilingan padi, 235 pedagang beras, serta 54 pengamat pengairan dan hama penyakit tanaman dari 10 provinsi utama penghasil beras di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Hasil survei menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produktivitas padi dari bulan Mei hingga September 2024. Rataan produktivitas padi terendah terjadi di Juni 2024 yaitu 5,63 ton per ha, dan tertinggi di September yaitu 5,93 ton per ha, dengan rataan bulanan dari Mei-September 2024 sebesar 5,79 ton/ha.
Adapun rataan laju harga jual GKP petani mengalami kenaikan sebesar 3,27% per bulan dengan rataan harga jual GKP terendah terjadi di bulan Mei 2024, yaitu sebesar Rp.5.493/kg. Kemudian tertinggi di bulan September 2024 sebesar Rp.6.248/kg, dengan rataan bulanan dari Mei-September 2024 sebesar Rp.5.901/kg.
Pada bulan Mei-Juli 2024 harga GKP petani berkisar antara Rp. 5.493-5.792 per kg, berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp.6.000 per kg. Dengan demikian pada periode Mei-Juli 2024 saatnya pemerintah melakukan penyerapan gabah dalam negeri yang lebih besar melalui Perum Bulog.
Namun, terdapat kecenderungan penurunan harga gabah selama beberapa bulan terakhir. Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani mengalami kenaikan sebesar 3,27% per bulan dari Mei hingga September, tetapi pemerintah tetap lebih memilih impor beras ketimbang menyerap hasil produksi dalam negeri.
“Tren pengadaan beras dalam negeri selalu berada di bawah pengadaan beras luar negeri atau impor, yang artinya pemerintah tidak mampu mengoptimalkan penyerapan beras dalam negeri dan lebih menyukai impor beras. Pemerintah masih melakukan penyerapan beras dalam negeri di Agustus dan September dan bahkan cenderung meningkat,” ungkap Ketua Pataka, Ferry Sitompul pada konferensi pers, Senin (14/10/2024)
Advertisement
Kenaikan Harga GKP dan Saprotan
Selain itu, survei mengungkap adanya peningkatan harga sarana produksi pertanian (saprotan), termasuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya pengairan. Harga GKP di tingkat pengepul juga meningkat rata-rata sebesar 3,24% per bulan, dengan pengepul menikmati margin keuntungan sebesar Rp 471 per kilo. Harga beras di tingkat penggilingan turut mengalami kenaikan, dengan rata-rata kenaikan 1,5% per bulan, dan mencapai puncaknya pada Agustus 2024 sebesar Rp 12.967 per kg.
Selain itu, ada beberapa faktor produksi yang disurvei oleh PATAKA diantaranya, biaya benih, pupuk, pestisida dan pengairan, dimana seluruhnya mengalami peningkatan. Hal ini menandakan adanya kenaikan harga beberapa sarana prasarana produksi pertanian (Saprotan), atau peningkatan kuantitas penggunaan Saprotan yang dibeli selama periode masa tanam, dengan masa panen antara bulan Mei-September 2024. Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan itu diantaranya adanya gagal tanam, kekeringan dan serangan hama penyakit tanaman.
Ferry juga menyampaikan bahwa ada gap antara harga jual GKP pengepul dengan harga beli GKP penggilingan selama Mei-September 2024 sebesar Rp 250 per kg per bulan. Perbedaan gap antara harga jual GKP pengepul dan harga beli beli GKP penggilingan, diduga adanya pihak lain atau perantara (preman giling) yang mengambil keuntungan dengan jatah kisaran Rp 250 per kg per bulan.