Sukses

Neraca Dagang Indonesia Surplus 53 Bulan Beruntun, Ini Pendorongnya

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca perdagangan Indonesia pada September 2024 naik sebesar USD 480 juta dari Agustus 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia surplus sebesar USD 3,26 miliar. Ini memperpanjang tren surplus neraca dagang selama 53 bulan berturut-turut.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan surplus neraca perdagangan Indonesia pada September 2024 naik sebesar USD 480 juta dari Agustus 2024.

"Pada September 2024 neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar 3,26 miliar USD atau naik sebesar 0,48 miliar usd secara bulanan," ujar Amalia dalam konferensi pers, Selasa (15/10/2024).

Capaian positif ini memperpanjang tren surplus neraca dagang Indonesia menjad 53 bulan berturut-turut. Angka surplus dicatatkan sejak Mei 2020 lalu.

"Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia telah mencataykan surplus selama 53 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," ucapnya.

Dia mengatakan, surplus neraca perdagangan naik USD 480 juta secara bulanan. Namun, mengalami penurunan sebesar USD 150 juta dari nilai surplus September 2023 atau secara tahunan.

"Surplus neraca perdagangan september 2024 ini lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya namun lebih rendah dibandingkan bulan yang sama tahun lalu," ungkapnya.

Kondisi surplus pada September 2024 ini ditopang oleh surplus pada komoditas non migas. Yakni, sebesar USD 4,62 miliar.

Kemudian, komoditas yang memberikan sumbangsih surplus utama adalah bahan bakar mineral HS 27, lemak dan minyak hewan nabati HS 15 dan besi baja atau HS 72.

"Pada saat yang sama komoditas migas Indonesia mencatatkan defisit 1,36 miliar USD yang berasal dari komoditas hasil minyak maupun minyak mentah," paparnya.

 

2 dari 4 halaman

Ekspor September 2024

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada September 2024 sebesar USD 22,08 miliar. Angka itu meningkat secara tahunan dari September 2023.

Kala itu, nilai ekspor RI mencapai USD 19,34 miliar. Artinya ada kenaikan sebesar 6,44 persen pada September 2024. "Secara tahunan nilai ekspor September 2024 mengalami peningkatan sebesar 6,44 persen," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Selasa (15/10/2024).

Dia mengatakan, ada beberapa komoditas yang menyumbang kenaikan nilai ekspor tersebut. Terutama pada peningkatan komoditas ekspor non migas.

Di antaranya, bahan bakar mineral dengan kode HS 27. Logam mulia dan perhiasan atau permata dengan kode HS 71. Serta, kakao dan olahannya dengan kode HS 18.

"Kenaikan ini didorong oleh penibnkatan ekspor non migas terutama pada bahan bakar mineral HS 27, logam mulia dan perhiasan atau permata HS 71, serta kakao dan olahannya HS 18," tutur Amalia.

Nilai ekspor tersebut sebetulnya mengalami penurunan dari Agustus 2024. Penurunannya terjadi sekitar 5,80 persen.

Nilai Ekspor Turun 5,8 Persen

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka ekspor sepanjang September 2024 mencapai USD 22,08 miliar. Angka tersebut ternyata turun dari perolehan ekspor pada Agustus 2024, bulan sebelumnya.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan besaran ekspor tersebut mengalami penurunan sebesar 5,8 persen dari bulan sebelumnya.

 

3 dari 4 halaman

Kinerja Ekspor

"Pada September 2024 nilai ekspor mencapai USD 22,08 miliar atau turun sebesar 5,80 persen dibandingkan bulan Agustus 2024," kata Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2024.

Secara nilai, ekspor migas tercatat sebesar USD 1,17 miliar atau turun 2,81 persen. Sama halnya dengan ekspor non migas yang turun 5,96 persen menjadi USD 20,91 miliar

Menurut Amalia, penurunan ekspor pada Septmber 2024 itu disebabkan oleh menurunnya ekspor non migas. Utamanya pada 3 komoditas.

"Penurunan nilai ekspor September secara bulanan, terutama didorong oleh penurunan ekspor non migas terutama pada komoditas lemak hewan dan nabati HS 15, bijih logam, terak dan abu HS 26, mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya atau HS 85," tuturnya.

"Adapun penurunan ekspor migas terutama didorong oleh penurunan nilai ekspor gas dengan andil sebesar minus 0,27 persen,"  Amalia menambahkan.

 

4 dari 4 halaman

Deflasi 5 Bulan Beruntun: Emak-Emak Lebih Irit Belanja

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi dalam kurun waktu 5 bulan secara beruntun. Kondisi itu, tercermin dari minimnya belanja rumah tangga ke pasar tradisional.

Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan mengatakan transaksi di pasar tradisional sebetulnya masih terus berjalan. Utamanya, untuk barang-barang kebutuhan pokok.

Hal ini menunjukkan daya beli yang masih bisa berjalan ditengah kondisi deflasi dalam 5 bulan berturut-turut.

"Kalau untuk daya beli di pasar itu tetap bergeliat. Artinya kebutuhan bahan pokok tetap terseerap oleh rumah tangga karena kan wajib untuk memenuhi pasokan di rumah tangga," kata Reynaldi kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).

Beberapa produk yang dibeli berkisar pada kebutuhan pokok. Seperti beras, cabai, gula pasir, hingga minyak goreng. Dia menilai, produk-produk itu masih terus dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga.

Kendati demikian, Reynaldi mencatat ada volumen pembelian tersebut yang lebih rendah dari biasanya. 

"Walaupun, volume pembeliannya sedikit berkurang karena sebelum deflasi terjadi itu biasanya rumah tangga memasok minyal goreng yang kemasan sederhana yang 2 liter pouch, 2 liter botol," jelasnya.

Dia mencatat, ibu-ibu yang belanja ke pasar kini hanya membeli 1 liter minyak goreng. Bahkan, ada beberapa lainnya yang hanya mampu membeli kemasan lebih kecil.

"Sekarang mungkin hanya mampu membeli 1 liter, 1 liter atau bahkan yang curah belinya seperempat liter. Nah hal-hal ini yang menurut kami (perlu) jadi fokus perhatian pemerintah," pungkasnya.