Sukses

Elon Musk Tawarkan Pemilih AS Hadiah Fantastis, Apakah itu Sah?

Program miliarder Elon Musk yang menawarkan hadiah kepada pemilih di Amerika Serikat (AS) memicu perdebatan.

Liputan6.com, Jakarta - Elon Musk, miliarder sekaligus pendiri America PAC, menawarkan hadiah USD 1 juta per hari kepada pemilih di tujuh negara bagian krusial menjelang pemilihan presiden AS pada 5 November.

Dilansir dari BBC pada Rabu (23/10/2024) Program ini menuai kritik dan memicu perdebatan mengenai legalitasnya, dengan beberapa pakar hukum menyebutnya mungkin melanggar aturan pemilu. 

Melalui America PAC, Elon Musk meminta pemilih di Pennsylvania, Georgia, Nevada, Arizona, Michigan, Wisconsin, dan North Carolina menandatangani petisi yang mendukung ‘’kebebasan berbicara dan hak kepemilikan senjata’’. Setiap orang yang menandatangani petisi otomatis akan mengikuti undian harian dengan hadiah sejumlah USD 1 juta atau sekitar Rp 15,5 miliar. 

Selain itu, peserta yang merekomendasikan pemilih baru bisa mendapatkan bonus USD 47, dan di Pennsylvania yaitu negara bagian medan tempur utama bonus ditingkatkan menjadi USD 100. Pada 19 Oktober, pemenang pertama undian USD 1 juta diumumkan dalam sebuah acara di Pennsylvania. 

Beberapa ahli hukum menilai program ini mungkin melanggar hukum AS, karena bisa dianggap sebagai bentuk pemberian uang untuk mendorong pendaftaran pemilih. "Saya yakin tawaran Elon Musk kemungkinan ilegal," ujar profesor hukum dari Universitas George Washington, Paul Schiff Berman.

Selain itu, dari Pusat Hukum Kampanye, Adav Noti juga menyebut adalah ilegal untuk memberikan uang dengan syarat penerima mendaftar sebagai pemilih.

Namun, ada juga yang menganggap skema ini masih berada di area abu-abu. Mantan ketua The Federal Election Commission (FEC), Brad Smith berpendapat "ia tidak membayar mereka untuk mendaftar untuk memberikan suara. Dia membayar mereka untuk menandatangani petisi, Jadi menurut saya dia baik-baik saja di sini." 

 

 

2 dari 3 halaman

Kritik dan Tanggapan dari Berbagai Pihak

Gubernur Pennsylvania, Josh Shapiro menyebut langkah ini "sangat memprihatinkan" dan meminta penyelidikan lebih lanjut. Musk merespons dengan menyebut komentar Shapiro sebagai hal yang “mengkhawatirkan.” 

Miliarder Mark Cuban, pendukung Kamala Harris, menilai langkah ini “inovatif tapi putus asa” dan memperingatkan bahwa strategi ini dapat menjadi bumerang. 

Musk juga membela tindakannya dengan membandingkan program ini dengan sumbangan USD 400 juta dari Mark Zuckerberg pada pemilu 2020. Namun, sumbangan tersebut digunakan untuk mendukung logistik pemilu, bukan hadiah langsung kepada pemilih. 

Program hadiah Musk ini menuai pro dan kontra, dengan beberapa pihak menyebutnya sebagai pelanggaran hukum pemilu, sementara ada juga pihak yang menganggapnya sah secara teknis. Meski demikian, langkah Musk ini dapat memicu investigasi lebih lanjut dari otoritas pemilu dan memengaruhi jalannya pemilihan presiden mendatang. 

3 dari 3 halaman

Elon Musk Bongkar Dalang di Balik Rencana Pembunuhan Donald Trump

Miliarder AS Elon Musk menyatakan, sejumlah tokoh penting Partai Demokrat secara aktif mendorong masyarakat untuk menghilangkan nyawa mantan Presiden Amerika Serikat dan calon presiden dari Partai Republik Donald Trump.

"Mereka (Demokrat) secara aktif mendorong orang untuk membunuh Trump," tulis Elon Musk dikutip dari Antara, Selasa (17/9/2024) 

Musk menuding bahwa sosok di Partai Demokrat itu menyebut Trump sebagai "seorang diktator jahat". 

Dia menambahkan bahwa Reid Hoffman, salah satu pendiri LinkedIn yang dikenal sebagai salah satu donor utama Partai Demokrat, mengatakan kepada penonton di festival film Sundance bahwa dia berharap Trump menjadi "martir sejati".

Menurut pendapat Musk, komentar itu berarti "kematian".

Sebelumnya, terjadi upaya pembunuhan kedua terhadap Donald Trump pada Minggu di Trump International Golf Club West Palm Beach ketika mantan presiden AS tersebut sedang bermain golf.

Pihak kepolisian mengatakan agen Dinas Rahasia melepaskan tembakan ke arah tersangka pembunuh yang bersembunyi di semak-semak.

Pria itu melarikan diri dari tempat kejadian tetapi kemudian berhasil ditangkap.

Senapan jenis AK-47 ditemukan di lokasi kejadian, bersama dengan dua tas ransel dan kamera GoPro. Sementara itu, FBI telah bergabung dalam penyelidikan ini, dan pihak berwenang AS menganggapnya sebagai upaya pembunuhan Donald Trump.