Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menaruh harapan besar pada Presiden RI ke-8 bapak Prabowo Subianto agar berkomitmen melindungi jutaan petani tembakau dari ancaman global dan berbagai regulasi yang mengancam kelangsungan ekonomi petani tembakau di tanah air.
Agus Parmuji mengungkapkan, saat ini industri hasil tembakau legal telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat, baik sisi fiskal maupun nonfiskal yang meliputi peraturan daerah, peraturan bupati/wali kota/gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan. Belum lagi terbitnya PP 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang menuai penolakan dari banyak kalangan, termasuk penolakan dari ekosistem pertembakauan.
Baca Juga
Â
Advertisement
"Padatnya regulasi aturan yang dibebankan IHT legal nasional tersebut, akan berdampak pula bagi kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang selama ini bergantung pada pabrikan rokok," ujar Agus Parmuji dikutip, Selasa (28/10/2024).
Agus Parmuji menegaskan, demi melindungi jutaan petani tembakau yang selama ini sebagai soko guru ekonomi bangsa, DPN APTI menitipkan 5 PR besar pada Presiden Prabowo Subianto. Pertama, pemerintah Indonesia tidak perlu mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Mengingat posisi Indonesia seperti halnya beberapa negara lain di dunia yang mata pencaharian masyarakatnya banyak yang bergantung dari sektor pertembakauan.
Kerangka FCTC
Menurutnya, kerangka FCTC jika diterapkan di Indonesia akan mematikan tenaga kerja, petani, buruh, yang juga bakal menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu, justru bertolak belakang dengan visi misi Asta Cita yang ingin menyerap jutaan tenaga kerja demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pihaknya juga mendukung visi Presiden Prabowo yang akan menjalankan kepemimpinan negara dan bangsa dengan tulus, dengan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
"Kami berharap Presiden Prabowo tidak meratifikasi FCTC. Suara rakyat wajib didengar oleh Pemerintah Indonesia, utamanya mereka yang hajat hidupnya bergantung pada industri hasil tembakau," tegasnya.
Â
Harga Jual Eceran
Kedua, meminta Presiden Prabowo agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok tidak berubah pada tahun 2025, serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12 persen.
"Tujuannya demi menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat. Hal itu sejalan dengan program 100 hari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menargetkan bisa kembali membangkitkan daya beli masyarakat yang tengah lesu," katanya.
Memurut Agus Parmuji, fenomena downtrading ditandai oleh para konsumen yang beralih mengonsumsi produk rokok dengan harga lebih murah, termasuk rokok ilegal, mengancam pasar rokok legal karena adanya tekanan kebijakan nonfiskal dan fiskal, belum lagi turunnya produksi dan melambatnya kinerja penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang memerlukan kebijakan mitigasi.
"Jutaan petani tembakau berharap adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," imbuhnya.
Ketiga, tarif CHT untuk tahun 2025, 2026 dan tahun 2027 tidak naik guna menjaga kelangsungan proses pemulihan industri hasil tembakau legal nasional.
Diakui Agus Parmuji, IHT nasional selama ini berpotensi besar terhadap penyediaan tenaga kerja, juga berkontribusi ekonomi ke negara (cukai hasil tembakau dan pajak). Hal ini agar dijadikan perhatian besar Presiden Prabowo karena mencari pengganti dari sumbangan ekonomi tembakau tidak mudah.
Â
Advertisement
Penyederhanaan Tarif Cukai
Keempat, menolak penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan mendekatkan disparitas tarif antar layer. Hal itu akan menjadi ancaman harga rokok legal semakin tidak terbeli, dan perokok beralih ke rokok ilegal.
"Dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani. ‎Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau," terangnya.
Kelima, memohon peraturan yang seimbang antara rokok elektronik dan rokok kretek. Hal ini mengingat tarif cukai rokok elektronik lebih murah dari rokok kretek.
"Kontribusi dari IHT nasional memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Industri ini memiliki hubungan kerja yang bersifat kegotongroyongan antara petani tembakau dan industri rokok baik skala besar, menengah, maupun kecil," pungkasnya. *