Liputan6.com, Jakarta - Risiko terhadap ekonomi Asia meningkat seiring ketegangan perdagangan yang kian memanas, masalah di sektor properti China, dan potensi gejolak pasar yang memperkeruh prospek ke depan.
Hal itu disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Jumat, 1 November 2024. Dikutip melalui Channel News Asia, Senin, (4/11/2024), tekanan harga yang terus menurun dari China dapat "memicu ketegangan perdagangan" dengan mengganggu sektor-sektor di negara tetangga yang memiliki struktur ekspor serupa, menurut IMF.
Baca Juga
IMF mendorong Beijing untuk mengambil langkah-langkah guna mencapai pemulihan ekonomi yang lebih didorong oleh permintaan domestik.
Advertisement
"Perlambatan ekonomi China yang lebih lama dan lebih besar dari perkiraan akan berdampak negatif pada kawasan dan ekonomi global," kata IMF dalam laporan prospek ekonomi regional Asia.
"Tanggapan kebijakan dari China sangat penting dalam konteks ini," tambahnya, menggarisbawahi kebutuhan langkah-langkah untuk mendukung penyesuaian sektor properti dan memperkuat konsumsi swasta.
Dalam perkiraan terbarunya, IMF memperkirakan ekonomi Asia akan tumbuh sebesar 4,6 persen pada 2024 dan 4,4 persen pada 2025, dengan kebijakan moneter yang lebih longgar secara global diharapkan dapat meningkatkan permintaan swasta tahun depan.
Proyeksi untuk 2024 dan 2025 ini masing-masing naik sebesar 0,1 poin persentase dari perkiraan IMF pada bulan April, namun tetap lebih rendah dibandingkan ekspansi 5,0 persen pada tahun 2023.
IMF Prediksi Volatilitas Pasar Asia, Pertumbuhan Ekonomi China Melambat hingga 2025
Risiko dipandang “cenderung ke arah bawah” karena langkah-langkah pengetatan moneter sebelumnya dan ketegangan geopolitik yang dapat menghambat permintaan global, meningkatkan biaya perdagangan, dan mengguncang pasar, jelas IMF.
“Salah satu risiko utama adalah peningkatan tarif balasan yang saling berbalas di antara mitra dagang utama yang akan memperburuk fragmentasi perdagangan dan menghambat pertumbuhan di kawasan,” kata IMF
IMF juga menyatakan bahwa gejolak pasar baru-baru ini dapat menandakan adanya potensi volatilitas di masa depan saat pasar mempertimbangkan kemungkinan penurunan suku bunga besar dari Federal Reserve AS dan kenaikan suku bunga secara bertahap oleh Bank of Japan.
“Perubahan mendadak dalam ekspektasi terhadap kebijakan ini dapat menyebabkan nilai tukar menyesuaikan secara tajam, dengan dampak merembet ke segmen pasar keuangan lainnya,” ujar IMF .
“Meskipun volatilitas tidak selalu berbahaya, namun bisa merusak kepercayaan konsumen dan investasi,” tutupnya.
IMF memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 4,8 persen pada tahun 2024, naik 0,2 poin dari perkiraan bulan April tetapi lebih lambat dari peningkatan 5,2 persen tahun lalu. Pertumbuhan di China diperkirakan akan melambat lebih lanjut menjadi 4,5 persen pada tahun 2025, ungkap IMF.
Advertisement
Topang Ekonomi, China Bakal Tambah Utang 6 Triliun Yuan
Sebelumnya, China dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk menyetujui penerbitan utang tambahan senilai lebih dari 10 triliun yuan atau Rp.22 juta triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Penambahan ini merupakan salah satu dari upaya China untuk menghidupkan kembali ekonominya yang tengah lesu. Utang baru ini juga disebut-sebut sebagai paket fiskal yang diharapkan akan semakin diperkuat jika Donald Trump memenangkan Pemilu Amerika Serikat.
Melansir CNBC International, Rabu (30/10/2024) sebuah sumber melaporkan bahwa Badan legislatif tertinggi China, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) sedang berupaya untuk menyetujui paket fiskal baru, termasuk utang senilai 6 triliun yuan yang sebagian akan dikumpulkan melalui obligasi khusus negara, pada hari terakhir pertemuan yang akan diadakan dari 4-8 November mendatang.
Namun, sumber tersebut memperingatkan bahwa rencana tersebut belum final dan masih dapat berubah.
"Prioritas kebijakan saat ini tampaknya berfokus pertama pada penanganan utang tersembunyi pemerintah daerah, diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, dan kemudian pada dukungan permintaan domestik," kata Tommy Xie, kepala Riset Tiongkok Raya di OCBC Bank.
Bakal Dikumpulkan Selama 3 Tahun
Utang senilai 6 triliun yuan itu akan dikumpulkan selama tiga tahun termasuk 2024, kata sumber tersebut, seraya menambahkan bahwa hasil tersebut terutama akan digunakan untuk membantu pemerintah daerah di China mengatasi risiko utang yang tidak tercatat.
Jumlah total yang direncanakan, yang akan diperoleh dengan menerbitkan obligasi khusus pemerintah daerah dan perbendaharaan, setara dengan lebih dari 8% dari output China, yang telah terpukul keras oleh krisis sektor properti yang berkepanjangan dan utang pemerintah daerah yang membengkak.
Sebelumnya, pada akhir September 2024 Bank sentral China mengumumkan langkah-langkah dukungan moneter paling agresif sejak pandemi COVID-19.
Pemerintah China menindaklanjutinya beberapa minggu kemudian dengan mengibaratkan lebih banyak stimulus fiskal tanpa menyebutkan rincian keuangan dari paket tersebut, yang memicu spekulasi yang kuat di pasar global tentang besarnya pengeluaran baru tersebut.
Advertisement