Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan buruh selama berbulan-bulan akhirnya terwujud meskipun belum semua. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang UU Cipta Kerja.
Sidang uji materiil UU Cipta Kerja atau UU Ciptaker ini berjalan panjang karena hampir satu tahun. Sidang pertama uji materiil berlangsung pada 21 Desember 2023. Saat itu, buruh menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Ciptaker.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Gugatan UU Cipta Kerja ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Advertisement
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, selain mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU Cipta Kerja, MK juga meminta pembentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Ciptaker.
Hal ini perlu dilakukan segera karena MK menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomro 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja. Terutama terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh buruh.
Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
“Dengan undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” ucap Enny dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11/2024).
Dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan.
Keenam klaster tersebut adalah:
- Dalil Penggunaan Tenaga Kerja Asing
- Dalil Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
- Dalil Mengenai Pekerja Alih Daya (Outsourcing)
- Dalil Mengenai Upah
- Dalil Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
- Dalil Mengenai Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).
Penjelasan Dalil
Tenaga Kerja Indonesia (TKA)
MK melihat pasal mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki yang tidak mengatur pembatasan secara tegas dan rigid serta hanya menggunakan frasa “hanya dalam” merupakan rumusan norma yang menimbulkan ketidakpastian.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya, penting bagi Mahkamah untuk menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Jangka Waktu PKWT
MK juga mempertimbangkan mengenai jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Permasalahan ketentuan yang mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu yang merupakan komponen pembeda dengan PKWT ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
Untuk memberikan perlindungan atas pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh, maka menurut Mahkamah terkait dengan pengaturan jangka waktu PKWT yang saat ini sudah berjalan paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja perlu ditegaskan sebagaimana selengkapnya dalam amar Putusan a quo.
Jenis Outsourching
Terkait Pekerja Alih Daya, para Pemohon yang mempersoalkan belum adanya landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui alih daya (outsourcing).
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menegaskan, perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya.
"Sehingga, pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian alih daya, seperti perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa alih daya, dan para pekerja, akan memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan,” kata dia.
Waktu Kerja
Para Pemohon juga mempersoalkan tidak diakomodasinya hak buruh yang bekerja pada pengusaha atau di perusahaan yang memberlakukan lima hari kerja dalam sepekan dengan istirahat selama 2 hari.
Untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, penting bagi Mahkamah menegaskan waktu istirahat sebagaimana yang didalilkan para Pemohon dengan menyatakan ketentuan norma Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa "atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu".
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena permohonan dikabulkan tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum sebagian.
Upah
Soal upah, para Pemohon mempersoalkan dihapusnya Penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dengan diberlakukannya Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023.
Semula dalam norma batang tubuh ditentukan adanya frasa “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak”, yang kemudian norma tersebut dijelaskan, “adalah jumlah penerimaan atau pendapatan buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.
Hilangnya penjelasan inilah yang dipersoalkan oleh para Pemohon karena dianggap tidak memberikan kejelasan mengenai perlindungan pengupahan.
“Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan," ujar Ketua MK Suhartoyo.
Buruh Bersorak
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan permohonan UU Cipta Kerja ini.
"Putusan ini sangat luar biasa buat kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh buruh Indonesia yang telah menjalani perjuangan panjang bersama. Kemenangan gugatan ini menjadi milik seluruh buruh dan rakyat Indonesia," kata Andi Gani dikutip pada Jumat (1/11/2024).
Adapun, ada tujuh poin yang sesuai dengan tuntunan buruh yaitu, sistem pengupahan, outsourcing, masalah PHK, PKWT (soal kontrak kerja), tenaga kerja asing, istirahat panjang dan cuti, serta kepastian upah untuk pekerja perempuan yang menjalani cuti haid dan cuti melahirkan.
soal pengupahan, di mana dalam menentukan UMP akan kembali mempertimbangkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan melibatkan dewan pengupahan.
"Ada survei kehidupan layak yang akan dikembalikan karena dihitung kebutuhan masing-masing dasar di masing-masing daerah dan itu sudah lama hilang," tuturnya.
Kemudian, putusan MK juga mengabulkan gugatan mengenai PHK. Di mana perusahaan tidak bisa lagi melakukan PHK secara semena-mena dan wajib dimusyawarahkan dengan serikat pekerja.
Lalu, perekrutan Tenaga Kerja Asing (TKA) kembali dibatasi dan memiliki tenggat masa kerja. Sebelumnya, TKA bekerja di Indonesia begitu saja meski tanpa memiliki kemampuan.
Ketua Umum DPP KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat menyambut baik dan mensyukuri niat baik dari MK. Namun menurutnya, keputusan MK tidak mengubah landscape atau gambaran besar dari UU Cipta Kerja.
“Putusan MK ada beberapa yang memang baik untuk buruh soal Upah Minimum Sektoral yang dihidupkan kembali. Jadi sektor-sektor tertentu dipatok tinggi seperti otomotif, kimia, energi, dan perkebunan itu revenuenya besar kenapa upahnya harus dipatok UMR,” kata Jumhur kepada Liputan6.com, Jumat (1/11/2024).
Jumhur menambahkan, keputusan lainnya yang baik adalah terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya bisa berlaku selama lima tahun.Jumhur menuturkan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja lamanya kontrak tidak diatur, tetapi dalam PP 35 tentang kontrak kerja diatur maksimum 10 tahun.
“Karena di Undang-Undangnya tidak ada, maka dari itu bagus ada tambahan frasa yang bisa dimaknai harus 5 tahun setelah 5 tahun harus jadi pegawai tetap,” lanjutnya.
Sedangkan untuk perubahan lainnya, menurut Jumhur hanya redaksional dan sekedar penegasan, tetapi tidak merubah substansi.
Meskipun begitu, Jumhur menyebut saran dari MK baik terkait pembentukan UU Ketenagakerjaan baru dan mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU 6/2023. Hal ini akan ditindaklanjuti oleh buruh ke Pemerintah atau DPR untuk segera dibuat RUU Ketenagakerjaan yang baru.
“RUU yang mengkompilasi semua peraturan ketenagakerjaan di UU 13 dan Cipta Kerja yang lebih berkeadilan untuk dua pihak baik buruh dan pengusaha. Kita akan merumuskan bersama yang lebih adil kedua belah pihak dan itu diberi waktu 2 tahun oleh MK,” pungkasnya.
Advertisement
Perlu Ada Musyawarah
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan bahwa keputusan MK terkait UU Cipta Kerja menjadi angin segar bagi buruh, karena beberapa isu krusial yang menjadi hambatan mereka untuk hidup layak kembali menjadi perhatian
"Keputusan ini juga memungkinkan adanya pemberian upah yang lebih besar, terutama sektoral," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (1/11/2024).
"Jika upah di sektoral meningkat maka kesejahteraan mereka juga ikut meningkat," sambungnya.
Tetapi di sisi lain, kenaikan upah akan memberatkan sektor-sektor usaha yang sedang tidak prospektif.
"Konsekuensinya akan membuat para pelaku usaha khawatir untuk menentukan kebijakan turunannya. Misalnya soal upah, harus memastikan unsur hidup layak pada buruh," jelasnya.
Maka dari itu, ia menyarankan, diperlukan adanya musyawarah lebih lanjut antara pembuat kebijakan dengan pelaku usaha terkait revisi UU Cipta Kerja. Hal ini guna menemukan jalan tengah yang terbaik antara pembuat kebijakan dan pengusaha terkait kesejahteraan buruh.
"Saya kira perlu ada, karena konsekuensinya UU Cipta Kerja harus direvisi, sesuai dengan keputusan dari MK. Jadi memang perlu ada komunikasi antara berbagai pihak," imbuhnya.
Berpengaruh ke Pasar Modal
Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi, memperkirakan pasar akan merespons dengan hati-hati. Meskipun putusan MK mengharuskan adanya revisi, substansi UU Cipta Kerja tetap berlaku sementara waktu.
“Investor asing diperkirakan akan memperhatikan langkah-langkah pemerintah dalam memperbaiki prosedural ini, terutama karena UU Cipta Kerja dirancang untuk mendukung iklim investasi melalui penyederhanaan regulasi,” jelas Lanjar kepada Liputan6.com, Jumat (1/11/2023).
Putusan MK ini diprediksi memiliki dampak signifikan terhadap pasar dan menjadi sentimen yang perlu diperhatikan oleh investor dan perusahaan. Ketidakpastian yang muncul dari status inkonstitusional bersyarat berpotensi memengaruhi keputusan investasi.
“Investor mungkin akan menunda rencana investasi atau meninjau prospek sektor tertentu hingga ada kejelasan mengenai proses revisi yang diminta MK,” tambah Lanjar.
Sektor-sektor yang terdampak langsung oleh UU Cipta Kerja meliputi manufaktur, infrastruktur, dan pertambangan. Pelaku usaha atau emiten di sektor-sektor ini kemungkinan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian kebijakan saat ini.
“Mereka akan mengalami ketidaknyamanan akibat ketidakpastian dalam aspek ketenagakerjaan dan perizinan, yang merupakan komponen utama dalam UU Cipta Kerja,” pungkas Lanjar.
Pemerintah dan Pengusaha Hormati Keputusan MK
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, pihaknya sangat menghormati proses hukum dan Pemerintah akan segera mengambil langkah strategis guna menindaklanjuti putusan MK tersebut.
"Sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan MK. Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut," kata Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.
Kemnaker juga akan mengajak serikat buruh, APINDO, KADIN, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.
"Kemnaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya," ujar Menaker.
Di sisi lain, Menaker menegaskan bahwa pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan buruh serta keberlangsungan usaha.
Selain itu, Menaker Yassierli juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan untuk turut mengambil bagian dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan.
Sedangkan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menilai putusan MK yang membatalkan sejumlah pasal sektor ketenagakerjaan bisa berpengaruh pada ketidakpastian regulasi. Pada ujungnya, mengganggu iklim investasi.
"Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa ketentuan kunci UU Cipta Kerja, hal ini dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi," kata Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com.
Menurutnya, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang. Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi.
"Pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada," ucapnya.
Dia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan beban biaya ini akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menjaga daya saing.
"Beban operasional yang lebih tinggi akan menekan stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja," bebernya.
Advertisement