Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menjelaskan sikap partai dan serikat buruh terkait penetapan upah minimum Provinsi (UMP) 2025.
Said menuturkan sikap resmi partai buruh mematuhi semua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu 21 norma hukum atau 21 pasal di dalam UU Cipta Kerja oleh MK sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum kecuali dimaknai lain.
Baca Juga
“Khusus norma hukum pengupahan di dalam keputusan MK tentang pengupahan itu ada di poin 8 sampai 17 keputusan MK membahas tentang norma hukum pengupahan. Maka taati, dengan demikian norma hukum yang dicabut tadi aturan turunannya tidak berlaku. Khusus pengupahan autan turunannya PP no 51 tahun 2023 tidak berlaku karena norma hukumnya tidak berlaku,” jelas Said dalam konferensi pers, Senin (4/11/2024).
Advertisement
Said menambahkan karena PP No 51 Tahun 2023 tidak berlaku, maka memakai dasar PP 51 dalam menentukan upah minimum itu melanggar konstitusi karena memaksakan kehendak.
“Semua isi PP 51 yang merugikan buruh kami minta tidak diberlakukan seperti alfa atau indeks tertentu 0,1-0,3 persen. Formula batas bawah dan batas atas juga tidak berlaku,” jelas Said.
Adapun Kspi tetap meminta kenaikan upah pada 2025 sebesar 8-10 persen. Nantinya jika perusahaan yang tak mampu akan dilakukan diskusi, tapi Said menyebut penuhi dulu kenaikan 8-10 persen.
Selain itu Said menuturkan pemerintah wajib menetapkan upah sektoral. Kenaikan upah minimum sektoral harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi kota. Upah minimum sektoral diputuskan bukan di pusat tetapi dari dewan pengupahan daerah masing-masing.
Pengusaha Minta Penetapan UMP 2025 Tak Pakai Putusan MK
Penetapan upah minimum 2025 tinggal menghitung hari. Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta rumus penetapannya menggunakan ketentuan lama.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam turut menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sektor ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya, adalah penetapan upah minimum yang mencakup variabel kebutuhan hidup layak (KHL). Bob bersikukuh, penetapan UMP 2025 sepatutnya masih menggunakan rumus yang sudah ada.
"Namun khusus terkait dengan proses penetapan Upah Minimum untuk tahun 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum untuk tahun 2025 masih tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024," ujar Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (2/11/2024).
Dia menilai, jika penetapannya dilakukan mengikuti keputusan MK, akan menimbulkan kerumitan. Keadaan tersebut dikatakan bisa terjadi baik di tingkat daerah maupun perusahaan.
"Hal ini mengingat kerumitan yang akan terjadi di seluruh daerah bahkan di tingkat perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum tahun 2025," urainya.
Bob menegaskan harapannya dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan ke depan. Dia meminta keputusan-keputusan yang diambil agar mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.
"Kebijakan yang adaptif dan proporsional akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi pekerja, namun juga bagi dunia usaha secara keseluruhan, untuk mempertahankan daya saing Indonesia di kancah internasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, utamanya untuk penciptaan kesempatan kerja yang lebih luas," pungkasnya.
Advertisement
Pengusaha Khawatir Investasi Terganggu
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Pengabulan sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja dikhawatirkan mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menilai putusan MK yang membatalakn sejumlah pasal sektor ketenagakerjaan bisa berpengaruh pada ketidakpastian regulasi. Pada ujungnya, mengganggu iklim investasi.
"Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa ketentuan kunci UU Cipta Kerja, hal ini dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi," kata Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat (1/11/2024).
Menurutnya, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang. Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi.
"Pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada," ucapnya.
Bob mengatakan, perubahan 21 pasal yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan membuat dunia usaha mengukur kembali dampak yang ada terhadap kondisi dan perencanaan perusahaan ke depan, terutama yang berpotensi meningkatkan beban operasional.
Dia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan beban biaya ini akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menjaga daya saing.
"Beban operasional yang lebih tinggi akan menekan stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja," bebernya.