Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani aturan mengenai pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system (CATS) pada 14 Oktober 2024 dan diundangkan pada 18 Oktober 2024.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Adapun PMK Nomor 81 Tahun 2024 itu mulai berlaku pada 1 Januari 2025 yang tertuang dalam pasal 484.
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025,” demikian seperti dikutip, Selasa (5/11/2024).
Advertisement
PMK Nomor 81 Tahun 2024 ini menimbang antara lain untuk melaksanakan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel dan fleksibel perlu dilakukan penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung ekonomi nasional.
Selain itu, menata peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dilakukan dalam lingkup proses bisnis, serta teknologi informasi dan basis data di antaranya melalui penyesuaian pengaturan pendaftaran wajib pajak dan pengukuhan pengusaha kena pajak, pembayaran dan penyetoran pajak, pelaporan pajak, serta layanan administrasi perpajakan.
Selain itu, untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. PMK Nomor 81 Tahun 2024 ini terdiri dari 484 pasal dan mencakup tujuh ruang lingkup.
Dalam bab II pada pasal 2 menyebutkan mengenai ruang lingkup dalam peraturan menteri keuangan tersebut antara lain:
a.tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan penerbitan, penandatanganan serta pengiriman keputusan dan dokumen elektronik.
b. tata cara pendaftaran wajib pajak, pengukuhan pengusaha kena pajak, dan pendaftaran objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
c. tata cara pembayaran dan penyetoran pajak, pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, imbalan bunga, serta pengembalian kelebihan pembayaran pajak
d. tata cara penyampaian dan pengolahan Surat Pemberitahuan
e. tata cara pemberian pelayanan administrasi perpajakan
f. ketentuan teknis pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan dan
g. contoh format dokumen dan contoh penghitungan, pemungutan dan atau pelaporan.
Adapun pada pasal 483 disebut saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ada 42 aturan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Kanwil DJP Jakarta Selatan I Kenalkan Coretax ke Wajib Pajak, Apa Itu?
Sebelumnya, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan I dan delapan Kantor Pelayanan Pajak di bawahya menggelar edukasi serentak guna mengenalkan coretax kepada lebih dari dua ribu perwakilan wajib pajak yang terpilih.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan I Bambang Wijono, mengatakan edukasi diselenggarakan secara bertahap sejak pertengahan Agustus 2024 hingga akhir September 2024 di sembilan lokasi.
"Acara ini bertujuan untuk mengenalkan coretax sekaligus untuk memberikan wajib pajak kesempatan untuk mencoba sistem adminstrasi perpajakan yang baru," kata Bambang, di Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Coretax sendiri merupakan sistem baru yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengintegrasikan seluruh layanan perpajakan mulai dari registrasi, pembuatan dokumen perpajakan, pelaporan, pembayaran, hingga ke layanan perpajakan lainnya.
Makan dengan menggunakan modul uji coba, para edukator dari Kanwil DJP Jakarta Selatan I dan delapan KPP di bawahnya memberikan gambaran mengenai latar belakang, panduan cara mengakses, dan penggunaan coretax untuk membantu wajib pajak dalam melaksanakan administrasi perpajakannya.
Dalam kegiatan ini wajib pajak diberikan kesempatan untuk mencoba membuat dokumen administrasi perpajakan seperti Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak.
Advertisement
Peserta Wajib Pajak
Wajib Pajak yang diundang untuk menghadiri edukasi ini merupakan wajib pajak yang secara administrasi tercatat aktif. Wajib pajak prioritas ini juga dipilih dari berbagai sektor usaha, sehingga DJP dapat mendapatkan gambaran dari sudut pandang pengguna yang berbeda- beda.
Selain melalui edukasi tatap muka, wajib pajak juga dapat mengenal coretax melalui layanan simulator coretax pada akun djponline miliknya. Wajib pajak juga dapat mengakses media edukasi coretax melalui kanal youtube Direktorat Jenderal Pajak.
"Kanwil DJP Jakarta Selatan I berharap edukasi ini dapat meningkatkan pemahaman sekaligus mempersiapkan wajib pajak menyambut implementasi coretax, sehingga nantinya wajib pajak diharapkan dapat berpartisipasi aktif untuk mendukung implementasi coretax," pungkasnya.
Pakai Coretax System, Rasio Pajak Indonesia Bakal Terdongkrak
Sebelumnya, sistem inti administrasi perpajakan atau coretax system, yang ditargetkan bakal diimplementasikan awal tahun 2024 diyakini bisa mendorong rasio pajak Indonesia.
"Mudah-mudahan tax ratio kita bisa setidaknya berada pada tahapan yang bisa lebih sustain lah. Kalau angkanya 12,88 atau 15 persen sebagai titik poin untuk mencapai sustainable sebuah tax ratio," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, dalam Forum diskusi Perpajakan Bisnis Indonesia, Selasa (29/8/2023).
Diketahui, rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax to GDP ratio terbilang masih rendah. Tercatat, tax to GDP Indonesia tahun 2022 sebesar 10,4 persen, dan untuk tahun 2023 ditargetkan diangka 10,3 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Mandiri Institute, Teguh Yudo Wicaksono, mengatakan memang untuk keluar dari middle income trap dibutuhkan tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen.
“Karena kita ingin mencapai visi 2045 maka pertumbuhan ekonominya harus diatas 5 persen. Target 2045 kita tembus middle income trap maka pertumbuhannya harus 6-7 persen untuk mencapai akselerasi itu setidaknya tax to GDP rasio kita 12,88 persen atau lebih tinggi,” kata Teguh.
Advertisement
Asumsi Pertumbuhan PDB
Lebih lanjut, Teguh menjelaskan, tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen merupakan hasil studi dari International monetary fund (IMF). Alhasil, apabila suatu negara mampu menembus angka 12,88 persen, maka dipastikan dalam 3 tahun ke depan negara tersebut pertumbuhan ekonominya akan meningkat.
"Jadi bayangkan misalnya katakanlah kita income-nya Rp10jt, hitungan kasarnya 12,88 persen itu kan sekitar 130 ribu, jadi sebetulnya manageable. Tapi kalo dari studi ini satu yang critical. Di satu sisi memang ada isu struktural terkait dengan penerimaan perpajakan. Di sisi, lain penerimaan perpajakan yang sehat setidaknya diatas yang terjadi saat ini,” jelasnya.
Teguh pun menghitung, jika asumsi pertumbuhan PDB Indonesia tercatat sebesar 5,2 persen pada RAPBN 2024, dan target penerimaan pajak yang sebesar 9,3 persen, artinya tax to GDP rasio bisa mencapai 10,7 persen di 2024. “Jadi, di tahun 2024 rasio tax to GDP sekitar 10,7 persen, maka setidaknya kita membutuhkan tambahan 2,8 precented point untuk pertumbuhan ekonomi kita bisa akselerasi,” pungkasnya.