Liputan6.com, Jakarta Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat instruksi dari Presiden Prabowo Subianto, untuk meninjau ulang seluruh undang-undang dan peraturan pemerintah.
Arah peninjauan ini untuk memastikan tidak adanya kebijakan yang menghambat program strategis pemerintah. Adapun program strategis ini salah satunya mencakup program swasembada pangan, kemandirian energi, hilirisasi, dan soal lahan. Prabowo, kata Supratman, ingin agar semua status lahan berkeadilan untuk masyarakat.
Baca Juga
"Sesuai arahan Pak Ketua tadi terkait dengan Presiden beliau sudah menegaskan empat hal Pak. Satu, review semua peraturan perundang-undangan baik tingkatnya undang-undang PP Perpres termasuk peraturan menteri," kata Supratman dalam rapat di Komisi XIII DPR, Senin (4/11/2024).
Advertisement
"Jadi program-program inilah yang akan kita kawal menjadi prioritas untuk kami jadikan rujukan dalam penataan regulasi di Kementerian Hukum," ujarnya.
Peneliti Hukum dan Regulasi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh menilai bahwa peninjauan tersebut merupakan langkah penting, karena kebijakan yang ada belum cukup kuat untuk benar-benar mendukung program strategis Prabowo.
"Selama ini, Program Strategis Nasional (PSN) hanya diatur lewat Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN, yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 8 Januari 2016 dan diubah empat kali, serta Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2016. Artinya, dasar hukumnya bukan undang-undang, dan ini memberi dominasi pada kekuasaan eksekutif," kata Saleh dalam keterangan di Jakarta, dikutip Rabu (6/11/2024).
Ia menyoroti, Program Strategis memiliki cakupan proyek yang sangat luas, mencakup 233 proyek yang terdiri dari 218 proyek spesifik dan 15 program, dengan total nilai investasi mencapai Rp 6.246,47 triliun.
Â
Skala Proyek
Menurut Saleh, dengan skala proyek yang besar dan lintas sektor, penggunaan Perpres dapat menimbulkan beban berlebih pada kewenangan Presiden. Dijelaskannya, hal itu karena Perpres cenderung bersifat sepihak, di mana proses legislasi dikendalikan Presiden tanpa melibatkan naskah akademik atau kajian yang komprehensif—kebijakan pun jadi tersentralisasi.
"Pemerintah sering menggunakan peraturan eksekutif untuk mengontrol PSN, sehingga kepentingan politik eksekutif lebih menonjol," sebutnya.
Pengamat Hukum Sarankan PSN Prabowo Diatur dalam Undang-undang Khusus
Saleh juga mengutip data dari Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang menunjukkan terdapat 133 peraturan eksekutif yang mengatur PSN. Data ini belum mencakup semua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja, yang juga diatur untuk mendukung Program Strategis Nasional (PSN).
Adapun informasi dari Sekretariat Kabinet yang menyebutkan bahwa dari total 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, sebanyak 30 peraturan, yang terdiri dari 28 Peraturan Pemerintah (PP) dan 2 Perpres, diarahkan untuk mendukung PSN.
Hal ini menunjukkan, sekitar 61,22% dari peraturan pelaksana UU Cipta Kerja berfokus pada kepentingan PSN, mencerminkan fokus pemerintah yang besar pada prioritas sektor ini.
"Jika Prabowo ingin memperkuat regulasi PSN, sebaiknya PSN diatur dalam undang-undang khusus, bukan hanya melalui peraturan eksekutif. Dengan demikian, kontrol akan lebih terstruktur dan risiko penyalahgunaan bisa diminimalkan," jelas Saleh.
Â
Advertisement
Program Strategis Nasional
Selain itu, Saleh menyarankan, aparat negara, salah satunya TNI dan POLRI untuk tidak dilibatkan dalam proyek-proyek Program Strategis Nasional. Menurutnya, keterlibatan mereka cenderung menunjukkan pendekatan keamanan lebih diutamakan daripada dialog partisipatif dengan masyarakat.
"Pola ini rentan memicu masyarakat menjadi objek kekerasan, baik fisik maupun psikologis," kata dia.
Salah mencontohkan kasus proyek Rempang Eco-City di Batam, di mana lebih dari 1.000 aparat gabungan dan personel BP Batam masuk ke Pulau Rempang dan melakukan intimidasi kepada warga setempat.
"Berdasarkan studi dari PBHI, proyek ini mencerminkan adanya sekuritisasi melalui intimidasi, penyiksaan, penggunaan kekuatan berlebihan, kriminalisasi, penggusuran paksa, dan penggunaan senjata api," paparnya.
Dampaknya terhadap masyarakat pun sangat signifikan, dengan temuan sekitar 85% warga kehilangan tempat tinggal, 89% mengalami trauma psikis, 62% mengalami kerusakan lingkungan, 78,44% menjadi korban kekerasan, 50% kebebasan berekspresinya terbungkam, 23,68% mengalami perampasan tanah dan budaya adat, serta 35% mengalami diskriminasi, imbuh Saleh, mengutip studi dari PBHI.