Liputan6.com, Jakarta - Calon Presiden dari Partai Republik, Donald Trump memenangkan Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 dalam hasil hitungan cepat pada Rabu hingga Kamis ini.
Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS menuai ragam respons para ekonom, salah satunya terkait dampak ekonomi dari hasil Pilpres AS terhadap negara-negara di dunia dan mata uang dunia, tak terkecuali rupiah.
Baca Juga
Rupiah ditutup melemah 84 poin terhadap Dolar AS (USD) pada perdagangan Rabu sore kemarin setelah AS mengumumkan posisi unggul Trump dalam Pilpres 2024. Rupiah kini diperkirakan semakin mendekati level 15.800 per dolar AS.
Advertisement
Ekonom, sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira memprediksi tren pelemahan nilai tukar rupiah bisa berlanjut, menyusul kemenangan Trump dalam Pilpres AS.
"Artinya ada proyeksi rupiah berada di atas Rp.16.000 dalam waktu yang singkat, karena Trump effect juga membuat investor menarik dana dari pasar negara berkembang. Misalnya terlihat pada 6 November 2024, net sales atau penjualan bersih saham investor asing itu tembus Rp 1,5 triliun," kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (7/11/2024).
Ia menyebut, hal ini menandakan investor memang lebih banyak keluar dari pasar saham, dan mereka mencari instrumen yang aman, salah satunya Dolar AS.
"Jadi Dolar AS, kemudian emas batangan itu mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan. Inilah mengapa Trump effect menjadi perhatian utama, karena kebijakan proteksionisme, eskalasi perang dagang AS dengan China masih berlanjutnya," papar Bhima.
Selain itu, ketika tarif impor di AS meningkat untuk berbagai jenis barang, maka harga komoditas dan permintaan komoditas asal Indonesia ke pasar China ke pasar Amerika berisiko mengalami pelemahan dalam jangka menengah.
"Paling tidak selama Trump menjabat akan terjadi pelemahan permintaan dari berbagai jenis komoditas, dan juga produk industri dari Indonesia terutama ke pasar 2 negara ini ya China dan Amerika," imbuhnya.
Indonesia Tak Kebagian Relokasi Industri
Selain itu, Bhima juga menyoroti periode pertama Pemerintahan AS di bawah Trump, di mana saat itu Indonesia hampir tidak mendapatkan relokasi industri akibat perang dagang AS-China.
"Jadi Indonesia enggak dapat relokasi industri, jadi yang dapat diuntungkan justru Vietnam, Malaysia, kemudian Thailand dan Kamboja yang mendapatkan relokasi industri, Indonesia tidak mendapatkan satu pun," ungkapnya.
"Artinya kemenangan Trump ini sinyal yang buruk bagi ekonomi Indonesia, terutama karena memang Amerika masih jadi mitra perdagangan yang tradisional, masih tetap porsinya cukup besar," lanjut Bhima.
Hal ini mesk China masih menjadi pasar ekspor utama produk-produk Indonesia. "Namun Amerika punya peran kunci yang yang cukup penting," katanya.
Maka dari itu, Bhima menyarankan, Indonesia perlu hati-hati dalam mengambil kebijakan moneter dari dampak hasil Pilpres AS.
"Karena kalau kebijakan ekstrem Trump termasuk soal EV, dan tidak akan melanjutkan Inflation Reduction Act0nya Joe Biden maka ada kekhawatiran permintaan nikel olahan dari Indonesia juga akan anjlok, sehingga ini akan mengganggu prospek hilirisasi Indonesia ke depan," imbuhnya.
Advertisement